Musim penerimaan mahasiswa baru sudah tiba. Berbagai jalur penerimaan mahasiswa pun dibuka. Mulai dari jalur Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Ujian Masuk Bersama (UMB), Seleksi Lokal Masuk Bersama (SLMB) dan berbagai penamaan lain yang setiap tahun senantiasa diubah-ubah.
Rabu, 19 Juni 2013
Sabtu, 08 Juni 2013
WTP: Prestasi atau Prestise
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Beberapa waktu yang lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jambi Tahun 2012. Ucapan selamat pun mengalir dari pimpinan SKPD yang dimuat media massa. Hal ini, tentu sebuah kebanggaan tersendiri sebagai bagian dari masyarakat Jambi. Apalagi Pemprov. Jambi mendapat peringkat ke empat teratas nasional atas prestasi tata kelola keuangan ini.
Sabtu, 25 Mei 2013
Disparitas yang Melebar Menyongsong MDGs 2015
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Dalam sebuah Rapat Kerja (Raker) yang dilakukan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) dengan Pemerintah Provinsi Jambi di sebuah hotel ternama di Kota Jambi beberapa hari lalu telah menyisakan beberapa catatan terkait tujuan pembangunan demi terbangunnya kesejahteraan masyarakat dunia. Dihadiri oleh berbagai perwakilan, baik itu dari perwakilan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perwakilan masyarakat lainnya yang secara keseluruhan berjalan lancar.
Minggu, 12 Mei 2013
Menuliskan Tradisi Lisan
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Masyarakat Jambi dikenal kental dengan balutan budaya melayunya. Tutur bahasanya yang sopan, santun, elok, tergambar dari berbagai budaya dan tradisi yang dimilikinya. Salah satunya adalah tradisi lisan. Beragam tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Salah satunya adalah apa yang kita kenal dengan seloko adat Jambi. “Adat selingkung negeri, undang selingkung alam” yang bermakna bahwa dalam kehidupan masyarakat Jambi berada dalam kerangka atau koridor hukum adat (adat selingkung negeri) dan hukum positif (undang selingkung alam).
Di dalam kehidupan sosial masyarakat adat Jambi mengakui pula adanya tingkatan hukum yang lebih tinggi yang berlaku di samping keberlakuan hukum adat. Dari seloko tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Ketika secara adat menemui jalan buntu maka baru mengacu kepada hukum yang lebih tinggi (undang selingkung alam).
Selain dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan adat budaya, Jambi juga dikenal dengan masyarakatnya yang relijius, ini tercermin dari hukum adat Jambi yang senantiasa berpedoman pada ketentuan agama. Berkaitan dengan sifat relegius masyarakatnya, hal ini bisa ditemui dalam seloko yang menyebutkan “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”. Adat bersendikan kepada agama, agama berpedoman pada kitab Allah (Alquran).
Apa yang dicontohkan di atas merupakan bagian kecil tentang kekayaan tradisi, khsusunya tradisi lisan yang menjadi kekayaan masyarakat Jambi. Ia begitu sederhana, akan tetapi kalau dimaknai ia mempunyai nilai dan makna positif yang begitu dalam. Seloko tersebut di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dimiliki Jambi yang mungkin saja sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang tidak akan kita temui.
Banyak lagi contoh lain dari tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Seperti ketika membicarakan tentang tradisi Senandung Jolo, maka dunia tidak bisa lepas dengan Dusun Teluk Kabupaten Muarojambi. Mengapa demikian? Karena disitulah tradisi Senandung Jolo itu muncul dan pernah hidup. Begitu juga ketika berbicara tentang tradisi Basale, kita tidak bisa lepas dengan kehidupan Suka Anak Dalam (SAD) yang masih jauh dari jangkauan kemajuan zaman.
Secara teori, tradisi dalam banyak literatur adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat. Ia bisa melekat dengan suatu budaya, bangsa maupun agama yang keberlangsungannya sangat dipengaruhi oleh sistem pewarisan yang dilakukan oleh para pendahulunya.
Begitu juga dengan tradisi lisan yang semakin lama semakin berkurang penuturnya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Pelaku tardisi lisan pada saat ini boleh dibilang tinggal segelintir orang. Itu pun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Karena generasi yang berkenan melanjutkan tradisi tersebut boleh dibilang sedikit sekali, karena berbagai pertimbangan yang kadang cenderung pragmatis.
Hal yang demikian merupakan tantangan berat bagi kita semua yang mengaku peduli terhadap khasanah dan nilai-nilai budaya. Ia bukan saja merupakan kekayaan bangsa Indonesia semata, akan tetapi tradisi lisan itu juga harus disadari sebagai bagian dari warisan dunia yang perlu dilestarikan keberadaannya.
Untuk itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan saat ini dalam rangka usaha menyelamatkan tradisi lisan tersebut adalah mensinergikannya dengan tradisi tulis. Dengan mensinergikan kedua tradisi tersebut, sehingga tradisi tulisan bisa menopang tradisi lisan yang mulai kehilangan para penutur atau generasi penerus.
Artinya antara tradisi lisan dan tradisi tulisan ini bukanlah dua hal yang tidak mungkin untuk disinergikan. Bahkan ia akan saling mendukung. Ketika tradisi lisan itu mulai terancam karena berkurangnya para penutur, maka dengan tradisi tulis mungkin akan bisa membantu mengatasi hal tersebut. Tradisi lisan yang biasanya dituturkan oleh para pelaku tradisi bisa dituangkan dalam bentuk tulisan maupun dokumentasi lainnya.
Tulisan tersebut bisa dibukukan, disimpan di CD, bahkan bisa disimpan dengan menggunakan media digital sekalipun sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan harapan tradisi lisan tersebut tetap bisa dipelajari untuk generasi yang mungkin sempat terputus karena faktor berkurangnya penutur dan persoalan ketertarikan generasi penerus terhadap tradisi tersebut. Dengan demikian tradisi lisan tetap bisa dipelajari kapan dan di manapun mereka berada.
Apa yang penulis sebut dengan usaha pelestarian tradisi, bukan sengaja hendak melestarikan tradisi dengan tetap membiarkan atau mempertahankan seperti kehidupan masyarakat SAD yang hidup dalam keterbelakangan. Bukan pula ingin mempertahankan masyarakat tradisi sebagai objek penelitian semata seperti yang terjadi selama ini. Akan tetapi bagaimana tradisi yang berlaku di dalam sistem kehidupan masyarakat tradisi itu bisa senantiasa dipelajari dan menjadi referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tradisi lisan. Di sinilah pintu masuk bagi tradisi tulisan.
Jumat, 03 Mei 2013
Kekeliruan Susno dan Lembaga Peradilan
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Apa yang dilakukan oleh seorang Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji belakangan ini yang ramai diberitakan oleh hampir seluruh media massa sungguh mencengangkan dan sekaligus membuat kening kita seperti kehilangan bentuk. Apalagi bagi masyarakat biasa, pasti akan bertanya-tanya kenapa hal seperti ini bisa terjadi! Kesalahannya di mana?, dan mungkin akan banyak lagi deretan pertanyaan muncul yang memerlukan jawaban yang masuk akal tentunya.
Setelah keberaniannya mengungkap berbagai kasus besar yang melibatkan petinggi Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji seakan memiliki kekuatan baru. Kasus yang menimpa dirinya berhasil menarik simpati berbagai kalangan yang sekaligus menjadi sumber pasokan energi yang menjadi kekuatan bagi dirinya. Salah satunya adalah dari salah satu petinggi partai. Bahkan tidak tanggung-tanggung, oleh petinggi dan pengurus partai ia telah dijadikan sebagai calon legislatif dari partai tersebut. Tentu bukan main-main ketika keputusan partai menetapkan para calon yang akan duduk di bangku legislatif. Mereka pasti sudah mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang keputusan tersebut.
Pasokan energi lain muncul ketika pengakuan dari salah satu anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahwa Susno sekarang berada di dalam lindungan lembaga tersebut. Menurut LPSK Susno berhak dilindungi karena dianggap sebagai whistle blower dalam berbagai kasus besar. Ia menjadi sumber informasi penting dalam menguak berbagai kasus yang sampai hari ini masih belum semuanya terbuka. Selanjutnya energi tersebut datang dari Polda Jabar yang memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap eksekusi yang dilakukan oleh pihak kejaksaan yang berwenang atas hal itu.
Jadi wajar saja jika logikanya ia (Susno) merasa menjadi lebih kuat dan bisa pergi ke mana-mana. Namun pertanyaannya, apakah seperti itu sikap seorang mantan Kabareskrim yang secara hukum telah diputuskan bersalah oleh pengadilan? Sepertinya ini adalah contoh mantan Komjen pengecut yang berusaha lari dari kenyataan atas kesalahan yang telah dibuatnya sendiri.
Semestinya karena beliau adalah orang yang berpengalaman dalam proses penegakan hukum sekaligus lahir dari institusi penegakan hukum, harusnya beliau taat atas keputusan pengadilan, bukan malah sebaliknya berusaha mencari celah yang bisa diakali untuk menghindari jeratan hukum.
Mempreteli Kewibawaan Pemerintah
Harus diakui bahwa Susno menjadi juru kunci atas banyak kasus yang melibatkan orang-orang penting di institusi negara, baik Direktorat Pajak, maupun di institusi penegakan hukum seperti Kepolisian. Secara tidak langsung keterangan yang diberikan oleh Susno di meja pengadilan terbukti sedikit banyak telah berlahan mempreteli kewibawaan pemerintah dengan membuka aib satu demi satu institusi negara, sehingga menjadikan presiden sering tersandung oleh kasus yang melibatkan bawahannya sendiri.
Logika yang Keliru
Alasan yang digunakan oleh Susno dalam menolak eksekusi yang dilakukan oleh pihak kejaksaan seperti yang diberitakan adalah terkait dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasinya. Dalam putusan tersebut tidak mencantumkan perintah penahanan 3 tahun 6 bulan penjara. Dalam putusan MA hanya tertulis menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2.500. Selanjutnya Susno menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi Jakarta cacat hukum karena salah dalam menuliskan nomor putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Alasan inilah yang tengah dimanfaatkan Susno dalam usaha membela diri. Sulit diterima akal sehat jika seorang Komjen seperti Susno tetap bersikeras tidak ingin di eksekusi dengan alasan putusan MA tersebut dengan mengabaikan bukti-bukti hukum di persidangan. Secara tekstual mungkin ia, akan tetapi secara kontekstual penulis yakin Susno bisa mencerdasi itu. Terlepas dari itu semua logika berpikir yang diperlihatkan seorang mantan Kabareskrim seakan hendak membuat hukum itu menjadi kaku dan kehilangan ruh.
Peran Bahasa
Di sinilah peran bahasa, kepastian hukum tidak bisa dilepaskan dengan kejelasan dan ketegasan bahasa yang digunakan agar ia menjadi inkrah. Walaupun pada dasarnya kesalahan pada putusan MA bisa diperbaiki, namun hal ini tetap menjadi catatan penting bagi lembaga peradilan. Bahwa kecermatan dan ketepatan menggunakan bahasa menjadi hal yang krusial. Sehingga di kemudian hari kejadian yang memalukan seperti ini tidak terjadi lagi, dan hukum itu benar-benar bisa memberikan kepastian dan kenyamanan bagi masyarakat.
Cukuplah kasus yang melibatkan Susno ini sebagai kekeliruan bahasa terakhir yang dibuat oleh lembaga peradilan, selanjutnya janganlah berniat mengulangi kekeliruan yang sama.
Rabu, 17 April 2013
Twitter sang Presiden
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Akhirnya sang presiden memiliki akun twitter. Sebelumnya rencana launching akun twitter sang presiden akan bersamaan dengan rencana reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ramai menghiasi berita di media masa beberapa hari yang lalu. Hal ini tentu saja menarik untuk dicermati sekaligus dikomentari. Apa lagi akun yang telah di-launcing bukan sembarangan, ini adalah akun milik sang presiden.
Seperti diketahui di zaman sekarang ini teknologi berkembang begitu pesatnya. Penyebaran informasi juga menjadi lebih cepat. Begitu juga dengan jejaring sosial seperti twitter yang sampai hari ini memiliki pengguna lebih dari 200 juta orang dari seluruh belahan dunia. Ia berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan menjadi sarana interaksi yang mempunyai peranan penting dan patut untuk diperhitungkan. Tak dapat dipungkiri bahwa jejaring sosial menjadi sarana interaksi yang tak terbatas oleh dimensi ruang dan waktu.
Banyak pemimpin dunia telah merasakan begitu besarnya manfaat dari jejaring sosial ini. Salah satunya adalah Barack Obama. Yang saat ini menjadi orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat. Yang sekaligus tercatat sebagai warga kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika. Obama telah membuktikan bahwa begitu dahsyatnya peran jejaring sosial bila dimanfaatkan dengan cerdas.
Belajar dari pengalaman para pemimpin dunia dalam memanfaatkan jejaring sosial, lalu apakah sang presiden akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Barack Obama dan para pemimpin dunia lainnya? Tentu masyarakat masih sangat penasaran.
Dari berbagai literatur, penulis mendapatkan ada beberapa fungsi dari jejaring sosial. Pertama, ia berfungi dalam rangka memperluas interaksi yang berdasarkan keberagaman. Baik itu perbedaan, maupun persamaan dari masing-masing individu. Ia mempertemukan kesamaan nilai serta karakteristik yang dimiliki oleh masing- masing individu. Ia mampu mengingatkan kembali nostalgia bersama yang pernah terbangun dalam interval waktu tertentu yang membuat orang merasakan indahnya sebuah kebersamaan masa lampau. Berkaitan dengan hal tersebut, mampukah sang presiden membangun interaksi yang baik dengan masyarakat maupun para tokoh nasional yang dulunya terjalin romantis? Kemudian dengan memanfaatkan jejaring sosial ini mampukah beliau mengembalikan nostalgia bahwa bangsa ini pernah menjadi bangsa yang disegani oleh dunia?
Kedua, jejaring sosial berperan dalam menambah wawasan, khasanah pengetahuan. Karena di dalam sebuah jejaring sosial akan ditemukan berbagai informasi yang akan menambah pengetahuan masing-masing individu. Dengan memanfaatkan jejaring sosial kita bisa mendapatkan berbagai informasi dari sebuah pertemanan di dunia maya, begitu juga sebaliknya, kita juga bisa memberikan informasi. Wawasan seputar apakah yang kira-kira hendak dibagikan sang presiden di sela-sela kesibukannya mengurus bangsa ini?
Ketiga, ia bisa digunakan untuk membangun opini publik dan pencitraan. Biasanya fungsi ini dimanfaat oleh para politisi dan para pejabat. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Obama seperti yang penulis contohkan di atas. Ia berhasil membangun opini publik dan menarik simpati dari para follower-nya dan terbukti ia terpilih kembali memimpin Amerika. Dalam hal ini mungkin sang presiden (SBY) saat ini lebih berpengalaman. Namun kira-kira opini apakah yang akan dibangun? Hanya sang presidenlah yang tahu. Seperti diketahui untuk mencalonkan kembali menjadi presiden sudah tidak memungkinkan lagi karena terbentur aturan yang berlaku.
Secara umum, tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh sang presiden. Tapi mungkin sekadar mempertanyakan, kenapa akun twitter-nya baru mau akan dibuat di akhir masa pemerintahannya yang tinggal beberapa bulan lagi. Tentu hal ini harus bisa dijelaskan ke publik, sehingga tidak terjadi spekulasi-spekulasi yang akan mempengaruhi sistem kerja penyelenggara negara, serta dapat memperkeruh suasana yang akan menghambat percepatan pembangunan bangsa ini.
Masyarakat kini masih menunggu dan menyimak sang presiden akan menggunakan akun twitter-nya untuk apa saja. Kalau hanya untuk menumpahkan kekecewaan ataupun berkeluh kesah, tentu saja sangat disayangkan. Bukan apa-apa karena jika dimanfaatkan hanya untuk curhat atau pun berkeluh kesah tidak menutup kemungkinan sang presiden akan semakin dicibir oleh para follower-nya. Karena indikasi itu sudah bisa dibaca ketika muncul berbagai kelompok yang merasakan ketidakpuasan atas kepemimpinan sang presiden, dan menginginkan beliau untuk segera mundur.
Terlepas dari itu semua hendaknya kemudahan teknologi ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Walaupun pada kenyataannya twitter kerap dijadikan media untuk saling sentil menyentil seperti apa yang pernah dilakukan oleh para politisi kita. Kalau saja jejaring sosial digunakan untuk hal seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan jejaring sosial akan beralih fungsi menjadi sarana perang urat saraf.
Semoga saja dengan akun baru twitter yang dimiliki sang presiden, bisa menjawab semua keluhan masyarakat dengan tindakan nyata di lapangan. Bukan hanya sebatas kicauan kosong semata.
Selasa, 16 April 2013
Pengusaha Batubara Mengangkangi (Lagi) Perda
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi dan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Jambi Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkutan Batubara nampaknya kembali “dikangkangi”. Inilah polah tingkah tak terpuji yang belakangan ini dilakukan oleh para pengusaha batubara setelah sebelumnya tercatat sudah beberapa kali membuat kesepakatan dengan pemerintah daerah, namun kesepakatan tersebut hanya di atas kertas yang pada perjalanannya tetap saja diingkari.
Sebelum Perda dan Pergub ini dibuat, sebenarnya juga sudah ada kesepakatan moratorium tentang angkutan batubara yakni penundaan atau penghentian sementara aktivitas pengangkutan batubara yang menggunakan jalur darat sebelum dibuat Perda dan Pergub. Namun moratorium itu juga tidak berjalan seperti harapan masyarakat. Selanjutnya setelah Perda itu disahkan pemerintah juga telah memberi toleransi pemberlakuan Perda moratorium batubara ini yang seharusnnya mulai per 1 Januari 2013 ditunda hingga 1 April 2013. Namun sampai saat ini masih dijumpai pelanggaran.
Yang mengecewakan lagi adalah langkah moratorium sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat sering dibalas dengan aksi mogok para supir truk pengangkut batubara di sepanjang jalan umum yang sering mereka lewati. Hal ini menurut penulis sama saja dengan “mengangkangi” Perda dan Pergub tersebut. Aksi tersebut terang saja telah mengganggu dan merugikan masyarakat pengguna jalan umum lainnya.
Tentunya ini menjadi tanda tanya, apa sesungguhnya yang terjadi?, sehingga Perda dan Pergub yang telah dibuat oleh pemerintah daerah itu seakan tidak pernah mereka patuhi. Benarkah pemerintah daerah telah kehilangan wibawa sebagai pembuat kebijakan, sekaligus perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah?
Perlu Ketegasan
Dalam kasus ini ada dua kemungkinan yang perlu dicermati. Pertama, kalau diamati selama ini pemerintah daerah boleh dikatakan belum menunjukkan keseriusan terhadap penegakan Perda dan Pergub yang telah mereka buat. Aparat yang semestinya berwenang melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran Perda dan Pergub tesebut juga belum bekerja secara maksimal. Ini bisa dilihat bagaimana para supir truk yang melanggar sampai hari ini belum ada yang dikenai sanksi tegas sebagai konsekuensi atas pelanggaran Perda dan Pergub tersebut.
Ketidaktegasan para aparat dalam mengawasi dan bertindak terhadap pelanggaran Perda dan Pergub yang dilakukan oleh para supir truk pengangkut batubara tersebut semakin membuat para supir angkutan batubara menjadi leluasa melewati jalan umum tanpa rasa bersalah. Padahal pengaturan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, salah satunya menjaga agar kondisi jalan menjadi lebih awet.
Kedua, itikad baik atau keinginan yang sungguh-sungguh dari kalangan pengusaha batubara untuk membuat jalur khusus dan memanfaatkan jalur sungai sebagai jalur alternatif angkutan batubara perlu dipertanyakan. Sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) Perda No 13 tahun 2013 mengatur: Setiap pengangkutan batubara dalam Provinsi Jambi wajib melalui jalan khusus atau jalur sungai. Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan “jalan khusus” adalah jalan yang dibangun oleh pelaku usaha yang digunakan untuk jalur pengangkutan batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan terminal batubara.
Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa para pelaku usaha batubara berkewajiban membangun sarana jalan khusus untuk jalur pengangkutan batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan terminal batubara. Namun pengusaha nampaknnya keberatan dengan aturan tersebut. Maklum untuk membangun jalan khusus memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hitung-hitungan untung rugi bagi perusahaan tentu lebih mereka utamakan.
Kemungkinan Pihak yang Bermain
Dengan kejadian ini tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara yang tidak legal. Seperti diketahui sebelum diberlakukan Perda dan Pergub tentang angkutan batubara, mereka yang mengangkut batubara melalui jalan umum dikenai retribusi yang disetorkan ke petugas dilapangan.
Dengan masih dijumpainya truk pengangkut batubara yang melintasi jalan umum patut diduga masih adanya oknum yang menerima upeti dari para pengusaha khususnya dari para supir truk yang melintasi jalan umum tersebut. Karena rasanya tidak mungkin mereka berani melintasi jalan umum kalau seandainya mereka tidak banyar setoran.
Sekarang sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas, baik kepada pengusaha batubara, maupun kepada oknum yang terlibat terbukti menerima upeti dari pengusaha batubara. Karena ini menyangkut nama baik dan kewibawaan gubernur selaku kepala daerah.
Dimuat di Media Online Metro Jambi, 11 April 2013
Dimuat di Media Online Metro Jambi, 11 April 2013
Jumat, 12 April 2013
Keranjingan Kekuasaan
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Keranjingan kekuasaan yang diidap oleh para pencari kekuasaan akhir-akhir ini, sepertinya terus saja meluas. Keinginan yang besar untuk berkuasa itu semakin meluap-luap, dan mengalir dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Tidak berhenti sampai di situ. Aliran itu kemudian merembes dari institusi yang satu ke institusi yang lain. Bahkan luapan dan rembesan keinginan yang besar untuk berkuasa bukan tidak mungkin akan menenggelamkan masyarakat beserta mimpi-mimpi sederhana yang mereka gantungkan kepada penyelenggara negara sebagai pemegang kekuasaan untuk mengelola bangsa dan negara yang lagi dirundung banyak masalah ini. Ada cita–cita yang dititipkan dalam mekanisme pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, yang telah disepakati di awal pembentukan negara ini, untuk menjadi sarana menuju masyarakat yang sejahtera katanya.
Oleh sebagian orang, kekuasaan dianggap sebagai sesuatu hal yang seksi. Sehingga dengan keseksiannya itu telah berhasil menggoda atau menarik perhatian mereka yang haus akan kekuasaan. Keranjingan kekuasaan di lapangan ternyata tidak hanya terjadi di institusi politik seperti partai politik. Akan tetapi keranjingan kekuasaan ini juga terjadi di institusi pemerintah atau birokrasi. Baik itu di institusi pendidikan, kementrian dan lembaga, pranata hukum dan juga di pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Begitu keranjingannya mereka terhadap kekuasaan, sikut-menyikut serta pengabaian prosedur pun mereka lakukan. Baik secara tertutup, setengah tertutup, maupun dengan cara yang sangat terbuka atau terang-terangan. Pada akhirnya berburu dan berpetualang kekuasaan menjadi suatu pemandangan yang sudah biasa di republik ini.
Kekuasaan bisa diumpamakan seperti candu. Candu dengan daya pikatnya yang luar biasa. Mereka yang terjerat, padahal yang sebelumnya hanya sekadar mencoba tentu saja akan kesulitan untuk melepaskan diri dari jeratan itu. Ia seperti perangkap yang mencengkeram kuat. Candu akan berlahan melemahkan, bahkan bisa juga melumpuhkan sistem kerja saraf dalam tubuh si pecandu tersebut. Sehingga mereka akan menjadi lemah dan mengikuti segala kata hati mereka yang sedang berhalusinasi sebagai akibat pengaruh dari candu tersebut.
Begitu juga dengan kekuasaan. Ia tidak terlalu jauh berbeda seperti orang yang sedang kecanduan atau ketergantungan. Rasa nyaman selama berkuasa yang menghinggapi seseorang akan menjalar ke sistem saraf yang akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Sehingga secara berlahan akan terlihat dengan jelas pengaruh yang timbulkan kekuasaan tersebut terhadap hasrat untuk kembali berkuasa. Kecenderungan seperti itu bisa dijumpai di di mana-mana. Berbagai cara pun akan dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan itu. Kalau kekuasaan itu sudah melekat, dan sudah merasa nyaman, ia senantiasa akan dipertahankan.
Berburu Kekuasaan
Umumnya mereka yang keranjingan akan kekuasaan biasanya lebih jeli. Mata, telinga, mereka pasang untuk melihat, mendengar, dan mengamati di daerah mana saja yang mungkin mereka bisa ikut bertarung memperebutkan kekuasaan. Di samping itu mereka juga sering mengumbar janji-janji yang membuat masyarakat itu terpikat atau terpedaya dan mau memberikan dukungan kepadanya. Dan pencitraan adalah salah satu ciri dari usaha mengejar kekuasaan.
Bahkan ada yang rela meninggalkan jabatan yang sedang ia sandang demi mengejar kekuasaan yang lebih tinggi dan menjanjikan. Di satu sisi hal ini menunjukkan usaha mereka yang begitu gigih. Namun di sisi lain, usaha mereka cenderung tidak didasari oleh niat tulus dan ikhlas untuk sepenuhnya bisa memajukan kesejahteraan masyarakat banyak. Padahal kalau saja kemampuan dan kegigihan dari sebagian mereka yang selama ini mungkin hanya peka terhadap peluang kekuasaan saja, tentu idealnya mereka juga harus lebih peka terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Hal tersebut penting, karena untuk menghindari jangan sampai nanti ada kesan bahwa mereka cuma mengharapkan suara atau dukungan untuk pemilihan saja. Akan tetapi mereka juga harus bisa menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah yang kehidupannya semakin terhimpit.
Esensi Kekuasaan
Pada dasarnya kekuasaan dipergunakan untuk menjadi sarana dalam usaha mencapai tujuan bersama. Bukan sebaliknya, kekuasaan menjadi sebuah tujuan akhir. Dalam hal ini adalah tujuan yang telah diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945 yakni: merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Apalagi sekarang menjelang pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Tidak jarang pula ada yang memanfaatkan sisa-sisa kekuasaannya yang mungkin tinggal beberapa bulan lagi untuk menjadi batu loncatan menuju kekuasaan berikutnya. Di antara mereka sepertinya memang belum siap untuk menanggalkan atribut kekuasaan yang sudah terlanjur nyaman bagi mereka. Padahal pergantian kekuasaan itu adalah bentuk dari dinamika dalam sebuah negara demokrasi. Namun hal tersebut sepertinya diabaikan.
Salah satu contoh adalah dalam hal memanfaatkan iklan layanan masyarakat sebagai media untuk mensosialisasikan diri. Mereka yang sekarang masih berkuasa tentu saja diuntungkan. Karena mereka bisa memanfaatkan sisa-sisa kekuasaannya yang masih punya pengaruh dalam sistem birokrasi saat ini. Orang awam tentu saja tidak akan menduga bahwa iklan layanan masyarakat itu adalah bentuk kampanye terselubung.
Mereka sepertinya tidak pernah merasa jera. Padahal seperti diketahui bahwa banyak sekali mantan penguasa yang tersandung dengan masalah hukum dengan menghabiskan masa pensiunnya di tahanan. Namun nampaknya hal itu sedikit pun tidak membuat mereka merasa khawatir. Mereka tetap juga ngotot ingin berburu kekuasaan. Apa memang mereka serius untuk mengabdi bagi pembangunan bangsa atau malah sebaliknya.
Selasa, 09 April 2013
Tumbangnya Sang Incumbent
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Berdasar hasil pleno Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Kabupaten Merangin yang digelar di gedung DPRD Kabupaten Merangin Minggu (31/3) kemarin, pasangan Harkad (Haris-Khafid) berhasil memperoleh 36,59 persen suara atau 71.059 pemilih meninggalkan rival politiknya dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Bupati dan Wakil Bupati Merangin untuk periode 2013-2018 yang dilaksanakan 25 Maret 2013 yang lalu. Dengan perolehan hasil suara tersebut, maka pasangan Harkad dipastikan akan memimpin Merangin lima tahun ke depan.
Keberhasilan pasangan Harkad mengungguli rival politiknya khususnya dari calon incumbent yakni Nalim-Salam (Nasa) menjadi catatan tersendiri yang menarik bila dikaitkan dengan dinamika politik di Merangin khususnya, dan di Provinsi Jambi umumnya. Karena seperti diketahui bahwa calon incumbent yakni Nalim yang berpasangan dengan Salam di usung oleh salah satu partai besar yang nota bene adalah partai elit pemenang pemilu yakni Partai Demokrat, dan beberapa partai lain seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Barisan Nasional (Barnas), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Apa yang terjadi di Pemilukada Merangin dengan kalahnya calon incumbent tersebut telah melahirkan berbagai spekulasi dan tentunya menyisakan setumpuk tanda tanya yang yang menarik untuk dicermati. Di samping itu, kekalahan ini sekaligus mementahkan opini publik jika calon incumbent sulit untuk dikalahkan. Secara teori mungkin benar. Karena ada beberapa faktor yang membuat calon incumbent itu diuntungkan, seperti: popularitas dan penguasaan opini publik. Sebagai orang yang masih menjabat, yang masih mempunyai pengaruh di wilayahnya calon incumbent tentu saja lebih dikenal oleh masyarakat bila dibandingkan dengan calon lain yang harus bekerja dengan ekstra untuk mensosialisasikan diri agar dikenal luas oleh masyarakat.
Suara Partai ke Mana?
Dengan hasil ini, ke mana sesungguhnya suara partai pendukung itu dilabuhkan? Sehingga calon yang didukung oleh partai besar tersebut harus ketinggalan jauh dari calon yang didukung oleh partai lain. Benarkah calon tersebut didukung dengan sepenuh hati oleh para petinggi partai khususnya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang secara organisatoris punya pengaruh dalam mengarahkan suara kader dan simpatisan partai, sehingga mesin partai tidak berjalan.
Selanjutnya sudahkan para petinggi serta semua kader partai itu all out untuk mendukung calon yang telah ditentukan oleh partai tersebut. Tidakkah terjadi perpecahan di internal partai di daerah, sehingga terkesan lain di atas lain lagi di bawah. Dalam artian intruksi dari pengurus di level atas tidak berbanding lurus dengan apa yang dilakukan di level bawah.
Atau mungkin karena pengaruh kisruh partai di pusat yang berimbas terhadap kesolidan para kader dan simpatisan yang berada di daerah. Karena seperti diketahui Partai Demokrat tengah menghadapi persoalan serius yang berkaitan dengan berbagai kasus yang melibatkan para kader partai. Atau juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja partai yang dinilai belum serius dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Boleh jadi kekalahan calon incumbent di Merangin merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan politik selama lima tahun menjabat yang dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terutama yang berkaitan dengan persoalan kesejahteraan masyarakat.
Ditambah lagi selama menjabat calon incumbent tidak mampu mewujudkan janji-janji politik yang telah terlanjur diumbar ketika masa kampanye dulu, padahal janji-janji politik itu harus diakui dulunya pernah mampu memikat para pemilih. Namun setelah menjabat sering kali calon incumbent mengingkari janji yang menjadikan masyarakat berusaha mencari calon alternatif yang kira-kira menurut mereka mampu mendengarkan dan mau memperjuangkan keinginan masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat memiliki mimpi yang sama, yakni menginginkan sebuah perubahan. Dan perubahan itu adalah perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Bukan sebaliknnya. Dengan melihat kepemimpinan calon incumbent selama ini, tentu masyarakat Merangin paham betul tipe pemimpin seperti apa yang dibutuhkan saat ini untuk membangun Merangin ke depan, dan tipe itu menurut masyarakat Merangin mungkin ada di pasangan calon Harkad.
Tingkat pendidikan masyarakat juga berpengaruh terhadap kekalahan calon incumbent. Tingkat pendidikan masyarakat Merangin saat ini tentu berbeda dengan masa lima tahun yang lalu. Masyarakat saat ini sudah mulai cerdas, dalam hal menentukan sebuah pilihan mereka pun sudah mulai rasional. Penyampaian visi dan visi serta program kerja para calon menjadi hal penting oleh masyarakat. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah komitmen dari para calon untuk mewujudkan visi, misi beserta program kerja di dalam kehidupan nyata, bukan sebatas retorika.
Akhirnya pemilukada Merangin setidaknya telah berjalan dengan sukses tanpa halangan dan gangguan yang berarti, walaupun masih ada rasa ketidakpuasan oleh segelintir orang terhadap hasil perhitungan oleh KPUD tentu itu sebuah kewajaran. Yang terpenting dari sebuah proses demokrasi ini adalah bagaimana calon terpilih nanti bisa memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, terutama masalah kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Kita tunggu saja.
Dimuat di Media Online Metro Jambi, 3 April 2013
Dimuat di Media Online Metro Jambi, 3 April 2013
Rabu, 03 April 2013
Dominasi Jabatan Politik
(Ancaman untuk Jabatan Karier)
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Di banyak literatur, istilah jabatan politik baru populer setelah zaman reformasi itu digulirkan. Yakni pasca lengsernya Soeharto sebagai penguasa orde baru pada waktu itu. Sebelum zaman reformasi, istilah jabatan politik belum begitu akrab di telinga publik. Pada zaman itu istilah untuk menyebut jabatan politik lebih dikenal dengan istilah jabatan negara, dan pejabatnya disebut dengan pejabat negara. Sampai hari ini istilah untuk pejabat negara sepertinya diwarisi oleh pemerintahan sekarang, ini dibuktikan dengan masih seringnya kita dengar istilah tersebut.
Secara sederhana jabatan politik bisa dimaknai sebagai jabatan yang ditentukan oleh sebuah proses politik. Dalam hal ini bisa dicontohkan untuk di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kita mengenal proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi serta pemilihan bupati/wali kota beserta wakil di tingkat kabupaten dan kota.
Jabatan seperti kepala daerah baik itu gubernur, bupati/wali kota beserta wakil di atas merupakan jabatan politik. Karena merupakan jabatan politik, maka ada kewenangan yang melekat dari jabatan tersebut. Jabatan seperti gubernur, bupati/wali kota di daerah dalam hal menentukan posisi jabatan di lingkungan pemerintah daerah baik itu untuk posisi Sekretaris Daerah (Sekda), posisi untuk menduduki jabatan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjadi kewenangan dari masing-masing kepala daerah baik itu gubernur, bupati maupun wali kota dengan meminta pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).
Karena seorang kepala daerah itu dipilih secara politik, tentu saja dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk untuk menjadi Sekda maupun menjadi pejabat eselon di SKPD, sang kepala daerah tidak bisa lepas begitu saja dari yang namanya pengaruh politik. Akan selalu ada hitung-hitungan ketika hendak menempatkan seseorang di posisi tertentu di birokrasi. Karena ini akan berkaitan dengan kepentingan sang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan selama menjabat. Kalau sudah demikian tentu hal seperti ini akan mencemari sistem kerja di birokrasi khususnya di lingkup pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota.
Yang sering terjadi dan dikeluhkan dalam proses pengangkatan dan pemutasian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di hampir seluruh daerah selama ini adalah adanya kesan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat yang memiliki tugas melakukan pemeriksaan yang menyangkut syarat administrasi, melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi kepada PPK dalam hal yang berkaitan dengan kenaikan pangkat, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural. Namun sang kepala daerah nampaknya lebih mempertimbangkan “bisikan” dari tim sukses yang telah berjuang memenangkan sang kepala daerah tersebut sebagai bentuk balas jasa dari pada mendengarkan pertimbangan Baperjakat.
Dominasi Jabatan Politik yang Mengancam
Sering kita jumpai mereka yang menduduki jabatan karier setelah pergantian kepala daerah banyak pejabat karier yang dipindahkan bahkan ada yang sampai dinon-jobkan. Padahal memiliki prestasi yang boleh dibilang baik. Akibatnya, para pejabat karier menjadi merasa tidak tenang dan tidak nyaman dalam bekerja. Implikasi lebih luasnya akan berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat.
Berapa banyak Sekda dan pejabat eselon yang di non-jobkan karena imbas dari pergantian kepala daerah. Kalau diamati hal tersebut bukanlah persoalan ketidakmampuan, akan tetapi menurut hemat penulis hal ini lebih pada persoalan politik yang di dalamnnya ada persoalan suka atau tidak suka. Tentunya kita tidak menginginkan proses mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu berlangsung dengan semena-mena dengan mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat.
Sebagai akibat dari begitu dominannya jabatan politik yang dimiliki oleh pejabat politik seperti gubernur, bupati/wali kota sangat memungkinkan pengangkatan pejabat karier seperti Sekda dan kepala SKPD itu disusupi oleh kepentingan politik tertentu dengan mengeyampingkan ketentuan yang seharusnya dipenuhi.
Kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala kepala daerah dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk di jabatan struktural tertentu untuk mengisi jabatan karier yang dikenal dengan istilah eselon dengan mengabaikan berbagai pertimbangan dan persyaratan administratif harus diakui sebagai ancaman tersendiri bagi pejabat karier. Karena bisa saja mereka yang akan menduduki jabatan struktural tertentu di lingkup pemerintah daerah tidak melalui mekanisme yang telah ditentukan.
Birokrasi Harus Netral
Secara teori birokrasi sifatnya adalah netral. Dalam pengertian ia tidak memihak pada golongan ataupun kepentingan tertentu. Ia seharusnya terbebas dari muatan politik, berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Birokrasi intinya berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Namun dengan adanya dominasi jabatan politik terhadap jabatan karier akan menjadikan orang yang duduk di jabatan karier tersebut menjadi tidak netral karena persoalan balas budi terhadap pengangkatan dan penempatan atas dirinya pada jabatan karier yang diperolehnya dari kepala daerah sebagai pemegang jabatan politik.
Yang kita khawatirkan dari dominasi jabatan politik adalah hilangnya netralitas dari sistem birokrasi yang sejatinya adalah mengutamakan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan golongan. Akhirnya yang menjadi korban tetap masyarakat golongan menengah ke bawah.
Kamis, 28 Maret 2013
Tanah Merah
Katamu tanah itu pernah menerbangkan semangat,
pernah menjadi tempat para jenderal mengatur strategi
sebelum berperang
maksudmu tanah itu?
Tanah yang merahnya sekarang mulai memudar
karena air mata para balita yang kekurangan gizi
Tapi kenapa tadi sore tanah merah itu kita injak,
kita kangkangi lalu kita kencingi
bukankah tanah merah itu lahir dari rahim ibu pertiwi
rahim yang memberi kita tempat singgah.
Ada apa sesungguhnya dengan tali kolor kita?
sedemikian longgarkah?
hingga kita beramai-ramai kencingi tanah merah itu,
tanah tempat kita berbaring
memandang perang bintang antar jenderal
lalu dimana kita bisa melihat tanah yang berwarna merah itu lagi
Telanaipura, Mei 2010
Rabu, 20 Maret 2013
Nasib Para Guru Kita
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Pekerjaan sebagai seorang guru merupakan tugas mulia. Begitu mulianya tugas para guru tersebut, maka pantas jika mereka dianugrahi gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena mereka adalah para pejuang yang telah berjuang tanpa mengenal lelah dengan gigih di sekolah-sekolah dalam memberantas kebodohan serta membuka cakrawala anak didik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penganugrahan gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi para guru ini, tentunya sangat beralasan. Bagaimana tidak, mereka selama ini telah dengan susah payah mencurahkan segala tenaga dan pikiran mereka untuk menuntun, mendidik, membina anak-anak didik di sekolah dengan penuh kesabaran dan ketekunan, walaupun dalam melaksanakan tugas mulia itu mereka harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan cobaan.
Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di kota Jambi. Hak mereka sebagai tenaga profesional oleh pemerintah kota belum juga bisa dipenuhi. Hak mereka atas tunjangan sertifikasi secara penuh belum mereka terima dengan berbagai alasan dari pihak terkait. Di antara mereka bahkan ada yang belum terima sama sekali. Perlakuan terhadap para guru yang seperti ini membuat kita harus mengelus-elus dada.
Seperti diketahui tugas seorang guru adalah mendidik atau mengajari para siswa-siswinya di lokal di sekolah-sekolah. Namun sayang akhir-akhir ini mereka menjadi sering turun ke jalan. Hal seperti ini terpaksa mereka lakukan, karena tidak ada pilihan lain. Keluh kesah mereka selama ini sepertinya tidak pernah didengarkan dan dianggap serius oleh pemerintah kota.
Adalah wajar, jika para guru harus memperjuangkan hak mereka sebagai tenaga profesional atas pembayaran dana sertifikasi yang selama ini belum mereka terima secara penuh dan tepat waktu sebagaimana mestinya, seperti yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.
Apa yang dilakukan oleh golongan profesional ini menjadi catatan serta peringatan tersendiri bagi pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Jambi untuk tidak semena-mena terhadap para guru, yang telah susah payah berjuang sekuat tenaga berkontribusi mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Seperti diketahui baik buruknya mutu pendidikan salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas guru sebagai tenaga pendidik. Hak mereka yang belum mereka terima bisa saja mempengaruhi keseriusan mereka dalam mengajar yang juga ikut mempengaruhi kualitas mengajar mereka di kelas.
Jangan Abaikan Hak Guru
Apa yang dilakukan oleh para guru bersertifikasi akhir-akhir ini tentu saja tidak muncul dengan tiba-tiba. Seperti pepatah mengatakan: “Mana mungkin ada asap kalau tidak ada api”. Begitu juga dengan apa yang terjadi dengan para guru bersertifikasi di Kota Jambi beberapa waktu yang lalu. Para guru sertifikasi yang menyalurkan aspirasinya bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah golongan profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidangnnya masing-masing, dan itu telah teruji dengan dinyatakan lulus ujian sertifikasi guru. Mereka turun ke jalan karena langkah diplomatis tidak menemui titik terang tentang kepastian kapan hak mereka akan dibayarkan.
Lagi pula para guru yang melakukan aksi dengan turun ke jalan tidaklah menuntut hal yang berlebihan kepada pemerintah. Mereka hanya menuntut hak mereka yang mestinya mereka terima setiap bulannya atas pekerjaan yang telah mereka lakukan untuk segera dibayarkan tepat waktu. Apa lagi anggaran untuk guru sertifikasi dari pemerintah pusat sudah di turunkan.
Pemerintah Kota Jambi sepertinya tidak punya alasan lagi untuk menunda-nunda pencairan dana sertifikasi untuk para guru yang telah dinyatakan lulus ujian sertifikasi tersebut, karena itu merupakan hak mereka. Kenyataan yang selama ini terjadi telah menimbulkan tanda tanya besar buat pemerintah kota. Ada atau tidak, keseriusan dari pemerintah kota Jambi dalam memperhatikan dan memperjuangkan nasib para guru dan nasib dunia pendidikan di kota Jambi ini? Karena ini akan berimplikasi terhadap keseriusan para guru dalam menjalankan tugas mereka sebagai pendidik di sekolah. Jika hak-hak mereka tidak diberikan, maka dikhawatirkan para guru akan kehilangan semangat untuk mengajar.
Yang perlu dipikirkan oleh pemerintah adalah jangan sampai aksi yang dilakukan oleh para guru ini akan berlanjut dengan aksi mogok mengajar. Kalau sampai hal itu terjadi, tentu akan lebih fatal lagi karena akan sangat merugikan, khususnya bagi siswa-siswi kita dan wajah pendidikan di kota Jambi umumnya. Apa lagi sebentar lagi para siswa Sekolah Menengah (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD) akan menghadapi berbagai bentuk ujian, baik itu Ujian Sekolah (US) maupun Ujian Nasional (UN). Tentunya untuk menghadapi itu semua diperlukan keseriusan semua pihak termasuk dinas pendidikan dan guru.
Perhatikan Nasib Guru
Pemerintah sudah seharusnya peka terhadap berbagai persoalan, baik permasalahan yang sudah muncul ke permukaan maupun yang berpotensi muncul. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mendengarkan dan memperjuangkan nasib para guru kita. Mereka harus mau mendengarkan keluh kesah mereka yang mungkin selama ini tidak pernah ditanggapi dengan serius.
Dengan adanya aksi turun ke jalan sebagai bentuk kekecewaan yang dilakukan oleh para guru, setidaknya telah menguatkan dan membuktikan bahwa tidak adanya perhatian serius yang diperlihatkan oleh pemerintah dalam memperhatikan nasib mereka. Di samping itu terlihat pula tidak terbangunnya komunikasi yang baik antara para guru dengan dinas pendidikan yang seharusnya menjadi mitra dalam memajukan pendidikan di kota Jambi. Ketahuilah bahwa para guru itu adalah aset yang perlu dijaga dan diperhatikan kesejahteraannya.
Jumat, 08 Maret 2013
Kelamin yang Berjalan
Cerpen: Mhd. Zaki
Ia lahir sebagai wanita dewasa yang pemalu. Lahir dari keluarga sederhana dengan menggantungkan hidup dari kedua orang tuanya yang usianya sudah renta. Kalau diperkirakan, usia orang tuanya tidak kurang dari 150 tahun.
Senin, 04 Maret 2013
Pendekatan yang Keliru tentang Berhala
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Pulau Berhala akhir-akhir ini tiba-tiba menjadi trending topics. Semua kalangan memperbincangkan Berhala dari berbagai perspektif. Mulai dari perspektif hukum, sosial, geografis maupun dalam perspektif sejarah. Tidak ada yang nampak salah, karena masing-masing dengan menggunakan argumen-argumen beserta bukti-bukti yang menguatkan serta meyakinkan tentunya.
Kasus Berhala menjadi penting, karena berkaitan dengan sejarah masyarakat Jambi. Jadi wajar saja jika masyarakat Jambi, baik yang berada di Jambi maupun warga Jambi yang berada di daerah lain merasa kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kewenangan dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar tersebut.
Berbagai tulisan pun muncul dengan berbagai muatan dan pendekatan. Ada yang berusaha membela Pemprov Jambi dengan berbagai usahanya, dan ada pula yang mempertanyakan kredibilitas dan kapabilitas kinerja tim yang dibentuk oleh Pemprov. Jambi dalam menyelesaikan kasus ini. Terlepas dari itu semua Pulau Berhala kini telah menjadi milik Kepulauan Riau. Setidaknya ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat kasus Berhala.
Pendekatan Hukum
Harus diakui bahwa negara kita adalah negara hukum. Dalam pengertian, bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh siapa pun yang ada di republik ini harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika bertentangan dengan ketentuan undang-undang, maka harus siap-siaplah dengan konsekuensinya. Itu di satu sisi. Namun di sisi lain kita juga jangan lupa, bahwa undang-undang adalah produk hukum yang diciptakan atau dihasilkan oleh manusia. Karena merupakan bentukan manusia, maka kemungkinan terjadinya kekeliruan itu akan selalu ada. Hal ini bukan bermaksud hendak mengabaikan pendekatan hukum yang telah di coba dan di bangun oleh Pemprov. Jambi dan MK dalam memutuskan perkara Berhala.
Dalam berperkara, baik itu hakim pengadilan umum, pengadilan tindak pidana korupsi, maupun hakim konstitusi juga harus progresif dalam memutuskan perkara gugatan. Jangan sampai kita ikut menguatkan anekdot yang menyebutkan bahwa kita hanyalah robotnya undang-undang. Bagaimana layaknya sebuah robot yang identik dengan gerakannya yang kaku. Begitu juga dengan undang-undang. Jika ia tidak dipahami dengan berbagai pendekatan maka ia sama kakunya dengan robot. Padahal dengan mempertimbangkan berbagai pendekatan sebenarnya bisa membantu menguatkan sebuah keputusan. Namun agaknya usaha progresif seperti itu sampai hari ini belum begitu di ke depankan.
Pendekatan Sosial
Dari pendekatan sosial, pada dasarnya bisa ditelusuri bagaimana kehidupan sosial masyarakat di Pulau Berhala tersebut. Hal ini bisa kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Mulai dari mencoba mencari jawaban dari pertanyaan dari mana asal sebagian besar penduduk yang sekarang tinggal atau bermukim di sana?
Seperti diketahui masyarakat yang tinggal di sana ada yang datang dari luar. Sungguh pun demikian kita masih bisa mengetahui dengan masyarakat mana mereka selama ini sering berinteraksi serta bersosialisasi. Kemudian sudah berapa lama mereka tinggal di sana. Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini berkaitan dengan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kalau jawaban mereka adalah masyarakat Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) maka secara sosiologis mereka tidak bisa serta merta dipisahkan keterkaitannya dengan masyarakat Tanjabtim yang merupakan bagian dari Provinsi Jambi.
Pendekatan Sejarah
Pulau Berhala juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah Jambi. Karena sejarah Datuk Paduka Berhala telah terekam oleh memori kolektif masyarakat Jambi sebagai pendahulu orang Jambi, dan Pulau Berhala sebagai bentuk buktinya. Beliau adalah pendiri Kerajaan Melayu Jambi pada masa itu, dan dari catatan sejarah beliau di makamkan di Bulau Berhala. Keberadaan makam beliau di Pulau Berhala jauh sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Kepulauan Riau. Begitu juga dengan sebutan untuk Paduka Berhala, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal dinamainya Pulau Berhala.
Maka dengan berbagai bukti sejarah seharusnya bisa digunakan di dalam memperkuat pembuktian kepemilikan Pulau Berhala sesungguhnya. Karena, kalau kita hanya menggunakan pendekatan hukum, maka sudah barang tentu akan sangat kental dengan persoalan kepentingan. Karena kita tahu bahwa undang-undang adalah produk politik yang tidak bisa lepas dari tarik menarik kepentingan.
Dengan lepasnya Pulau Berhala dari Pangkuan Provinsi Jambi, tentu saja ada hubungannya dengan ketidakpahaman kita terhadap sejarah Jambi. Khususnya bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI daerah pemilihan Jambi dalam membahas undang-undang dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ikut menyuarakan serta mendorong kepentingan masyarakat Jambi di pusat.
Sekali lagi, sejarah itu penting! Dengan lepasnya Berhala ini membuktikan ketidakmampuan Pemprov. Jambi meyakinkan para pihak khususnya hakim konstitusi dengan mengedepankan pendekatan sejarah.
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Ekspres, Sabtu 2 Maret 2013
Kamis, 28 Februari 2013
Di Balik Kemeriahan Malam “Keagungan Melayu Jambi”
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos, M.H.
Kemeriahan perhelatan budaya dan kesenian pada malam “Keagungan Melayu Jambi” dengan menampilkan Krinok sebagai pengiring pertunjukan yang digelar beberapa waktu yang lalu secara umum berjalan dengan sukses.
Kesuksesan itu tentu saja tidak lain adalah hasil dari sebuah kerja sama yang apik dari berbagai pihak. Termasuk dari para pelaku tradisi itu sendiri, yang telah menunjukkan kebersahajaan mereka dengan menampilkan sebuah tontonan yang luar biasa bagi para tamu undangan dan masyarakat Jambi umumnya.
Berkenaan dengan peristiwa budaya tersebut, maka sudah sepantasnya jika kita memberikan apresiasi yang lebih terhadap mereka. Bukan bermaksud berlebih-lebihan, tapi mereka memang pantas untuk mendapatkan pujian itu. Karena tanpa kehadiran mereka, maka dapat dipastikan acara yang kita gadang-gadangkan sebagai usaha dan upaya kita untuk mengangkat budaya melayu Jambi ke permukaan yang diibaratkan seperti mengangkat batang terendam pada malam itu akan dirasa hambar.
Dalam acara tersebut hadir pula para undangan dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah dari kalangan pejabat birokrat di Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah yang masyarakatnya masih kental dengan adat budaya melayunya. Kehadiran para birokrat pada acara tersebut memberi sinyal sekaligus membuka peluang bagi Dewan Kesenian Jambi (DKJ) sebagai mitra pemerintah sekaligus promotor dinamika berkesenian di daerah, baik dalam rangka menjaga keutuhan dan keaslian kesenian tradisional Jambi, maupun dalam rangka pengembangan kesenian kontemporer lainnya untuk bisa kembali meyakinkan mereka bahwa perlu adanya kerja sama semua pihak dalam merevitalisasi kesenian dan kebudayaan melayu Jambi. Hubungannya dengan para birokrat adalah berkaitan dengan arah kebijakan pemerintah. Tentu saja ada harapan besar di balik pertunjukan tersebut. Dengan menyaksikan acara tersebut kita berharap mereka nantinya bisa menjadikan kegiatan seperti ini sebagai usaha pelestarian budaya melayu Jambi dan menjadikannya program strategis dalam rangka pembangunan masyarakat Provinsi Jambi ke depan dengan mengangkat budaya menjadi sebuah industri.
Kemeriahan acara tersebut tentu pula tidak dikehendaki akan berhenti pada decak kagum dan pujian para tamu undangan semata. Akan tetapi diharapkan adanya tindak lanjut khususnya dari pemerintah daerah sebagai bentuk dukungan dalam melestarikan budaya dan tradisi yang mulai tergerus oleh begitu derasnya arus globalisasi, modernisasi serta munculnya berbagai bentuk imprealisme budaya dari luar.
Seperti diketahui tradisi dan pelaku tradisi sama-sama mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi. Dalam perjalannya tradisi akan mempengaruhi pelaku tradisi. Begitu pula sebaliknya. Pelaku tradisi dalam kehidupan masyarakat juga akan mempengaruhi keberadaan tradisi. Keterkaitan antara keduanya haruslah kita tempatkan pada tempat yang sejajar dengan porsi yang tentunya berimbang. Pelaku tradisi dan tradisi itu sendiri diibaratkan seperti dua sisi jalan yang seiring. Ini mengandung arti, bahwa mustahil tradisi akan tetap bertahan jika para pelaku tradisi dalam masyarakat itu sendiri telah tenggelam atau punah.
Regenerasi Pelaku Tradisi
Dalam realitas kehidupan sehari-hari seringkali kita jumpai, baik itu para seniman, budayawan maupun pelaku tradisi yang kehidupan mereka jauh dari perhatian. Padahal seperti diketahui di balik kebersahajaan dari sebagian mereka ada nilai-nilai yang melekat pada diri mereka. Dimana nilai-nilai tersebut sangat menentukan terhadap keberlangsungan sebuah tradisi. Hal ini bermakna bahwa para pelaku tradisi mempunyai peran penting dalam upaya melestarikan dan mewariskan tradisi sebagai bentuk produk kearifan lokal kepada generasi muda sebagai generasi penerus.
Seringkali di acara-acara resmi pertunjukan yang bernuansa kebudayaan, seni dan tradisi dengan sengaja dipertontonkan di hadapan khalayak, dengan kemasan yang tentu saja menarik. Di satu sisi keinginan untuk menampilkan mereka patut mendapat dukungan. Namun sayangnya kebanyakan hal tersebut hanya berhenti sampai di situ. Setelah pertunjukan selesai, iya sudah. Mereka kemudian dibolehkan pulang dengan bayaran alakadarnya. Hal seperti ini tentu saja memprihatinkan.
Pada dasarnya persoalannya bukan di situ. Bukan sebatas penghargaan terhadap mereka dengan nilai bayaran yang besar atau kecil. Mereka juga sebenarnya tidak pernah meminta bahkan sampai menentukan besaran tarif setiap kali mereka tampil dalam sebuah pertunjukan. Karena dalam diri mereka nilai-nilai budaya dan tradisi itu sudah melekat kuat. Pemerintah tidak perlu bersusah payah menyadarkan mereka akan pentingnya melestarikan budaya. Ada maupun tidak perhatian dari pemerintah, mereka tetap berkesenian. Namun alangkah lebih baik pemerintah bisa tetap bisa memberikan peran dalam menunjang mereka dalam usaha melestarikan tradisi itu. Seperti diketahui jika kita kehilangan tradisi maka kita juga berarti telah kehilangan jati diri.
Boleh dikatakan dari beberapa orang pelaku tradisi yang masih tersisa sampai hari ini sebagian besar dari mereka hidup dalam kebersahajaan. Namun mereka tetap terus berkesenian mempertahankan tradisi yang hampir hilang itu. Seperti Wak Mariam contohnya. Ia adalah seorang pelaku tradisi Senandung Jolo yang usianya sudah mendekati satu abad, tapi beliau harus tetap banting tulang untuk bisa bertahan hidup. Padahal seharusnya seumuran beliau sudah harus beristirahat menikmati hasil kerja yang sudah dilakukan di masa muda dulu. Namun hal itu tidak berlaku bagi beliau. Beliau harus tetap bekerja banting tulang ke sawah dan keladang untuk bisa bertahan hidup. Jika pemerintah punya perhatian terhadap budaya dan tradisi tentu saja nasib para pelaku tradisi seperti Wak Mariam ini tidak perlu terjadi. Apalagi para pelaku tradisi telah menghabiskan sebagian umur mereka untuk mempertahankan sebuah budaya dan tradisi. Tinggal bagaimana kita mengasah kepedulian dan kepekaan kita terhadap pelestarian budaya dan tradisi serta kehidupan mereka sebagai pelakunya. Hal ini wajib dilakukan jika kita tidak ingin budaya dan tradisi menjadi hilang ditelan perkembangan zaman.
Tradisi adalah Kekayaan Kita
Tidaklah berlebihan bila dikatakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan kesadaran budaya ini bertolak dari pandangan para ahli yang makin memahami peran budaya dalam mengubah banyak hal, termasuk membangun perekonomian suatu bangsa. Di Provinsi Jambi sendiri peran budaya dalam mengubah perekonomian bangsa belum begitu jelas terlihat. Padahal ada banyak budaya dan tradisi yang kalau dikembangkan akan mempunyai nilai ekonomis. Ia akan menjadi sebuah produk budaya lokal yang memiliki nilai jual yang menjanjikan.
Salah satu contoh adalah tradisi Senandung Jolo yang ada di Desa Tanjung Kabupaten Muarojambi. Selama ini untuk bisa menyaksikan tradisi tersebut kita harus mendatangkan para pelaku tradisi langsung dari Desa Teluk Kabupaten Muarojambi. Begitu juga ketika kita ingin menampilkan Krinok yang ada di Kabupaten Bungo. Maka kita harus mendatangkan pelaku tradisi tersebut langsung dari Bungo. Termasuk tradisi Sike, Tale, Be Kba yang berasal dari Kabupaten Kerinci. Jika kita ingin menyaksikan tradisi tersebut, maka kita akan kesulitan karena pelaku tradisi itu sudah tidak banyak lagi.
Keinginan yang begitu besar terhadap pengembangan budaya melayu Jambi tentunya bukan sebatas pada kajian budaya melayu saja, akan tetapi berkaitan juga dengan bagaimana semua pihak meluangkan dan mencurahkan pemikiran mereka dalam upaya regenerasi para pelaku tradisi yang sampai sekarang jumlahnya tidak seberapa. Bahkan diantaranya sudah tidak muda lagi. Kondisi para pelaku tradisi yang sebagian sudah tidak muda lagi tentu saja akan membuat resah kita semua akan nasib tradisi beberapa tahun ke depan, karena sampai sekarang belum nampak usaha regenerasi.
Tentunya suatu saat nanti kita berharap, ketika hendak menyaksikan sebuah tradisi, kita tidak mesti mendatangkan para pelaku tradisi itu langsung dari daerah. Melainkan kita tetap bisa menikmatinya di daerah masing-masing dengan penampilan dari siswa-siswi dan anak-anak muda yang telah diajarkan di sekolah-sekolah mereka. Semoga di balik penampilan mereka yang memukau, ada dukungan penuh dari kita semua.
Mulailah Bersahabat dengan Alam
Oleh. Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Banjir yang terjadi akhir-akhir ini telah memasuki kategori yang membahayakan. Atau kalau boleh dibahasakan dalam keadaan “gawat” banjir. Ditambah lagi hujan yang turun terus menerus di hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian Barat yang menyebabkan hal ini semakin membuat kita semua menjadi semakin cemas. Betapa tidak, akibat dari banjir dan hujan yang terus menerus tersebut, korban jiwa dan kerugian harta benda pun menjadi tidak terhindarkan. Semua ditenggelamkan.
Kecemasan ini sangatlah beralasan. Karena kejadian seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Namun telah terjadi hampir setiap tahun memasuki bulan penghujan. Dengan kejadian ini, dapat pula dipastikan beberapa tahun yang akan datang, kejadian seperti ini akan terus terjadi, kalau saja kita semua masih bersikap apatis dan egoistis terhadap alam.
Sekarang nasi terlanjur menjadi bubur. Tentunya untuk menjadikan bubur kembali menjadi nasi agak sulit memang. Namun paling tidak bubur yang telah dihasilkan oleh tangan-tangan kita, bisa dimaknai sebagai bentuk keteledoran dan kecerobohan bertindak kita. Khususnya pemerintah yang punya kendali besar terhadap jalannya roda pemerintahan. Termasuk dalam hal kewenangan dalam memberikan izin (pengelolaan hutan dan mendirikan bangunan) serta ketegasan sanksi ketika izin tersebut disalahgunakan ataupun dilanggar.
Banjir tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya. Ia didahului oleh berbagai sebab. Salah satunya adalah berkaitan dengan bagaimana manusia memperlakukan alam sebagai tempat ataupun sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Keserakahan dan kelalaian manusia kerap menjadi faktor utama yang menyebabkan berbagai bencana alam selama ini. Melihat kenyataan di lapangan yang semakin hari semakin mengancam dan membahayakan kita semua, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hubungan harmonis kita dengan alam.
Tumbuhkan Kesadaran Masyarakat
Dalam hal ini untuk menjaga lingkungan dan keberlangsungan ekosistem alam sekitar agar tetap seimbangan, maka diperlukan usaha menumbuhkan kesadaran masyarakat. Kesadaran yang maksud tentunya adalah kesadaran dari setiap masyarakat untuk senantiasa mengubah pola hidup. Dalam hal ini berkaitan dengan kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan mereka. Salah satunya adalah etika dalam membuang sampah. Artinya bagaimana pemerintah memberikan semacam pencerahan terhadap segala lapisan masyarakat bagaimana seharusnya sampah itu bisa dibuang pada tempat yang mestinya.
Usaha menumbuhkan kesadaran masyarakat bukanlah hal yang gampang. Namun bukan pula berarti hal tersebut mustahil untuk bisa diwujudkan. Pendekatan persuasif seperti apa yang contohkan oleh gubernur daerah khusus ibu kota (DKI), agaknya bisa dijadikan rujukan untuk bagaimana seharusnya bertindak pemerintah daerah lainnya. Keinginan masyarakat sepertinya mengharapkan para pejabat pemerintahan, baik yang di pusat maupun yang berada di daerah harus bisa untuk turun langsung ke lapangan sebagai bentuk keseriusan dan kepedulian mereka terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh warganya. Kesan yang bisa ditangkap selama ini adalah para pejabat di daerah hanya sekadar memberi instruksi atau pemerintah. Seolah-olah hanya bekerja di balik meja saja.
Perbaiki Drainase
Selain itu yang tidak kalah pentingnya lagi adalah memperbaiki sistem drainase. Seperti diketahui drainase yang ada selama ini boleh dibilang belum berfungsi dengan baik, serta tidak memadai untuk mengalirkan air. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya ditemui genangan air di banyak tempat. Sehingga wajar saja kalau di banyak tempat air menjadi tergenang. Drainase yang tidak baik, yang menyebabkan genangan, tentu saja akan berpengaruh buruk terhadap ketahanan jalan. Sebaik apa pun kualitas jalan yang dibangun, tapi kalau digenangi oleh air, pasti usia jalan akan menjadi lebih pendek atau cepat rusak. Untuk itu idealnya sebelum pembangunan jalan itu dilakukan, terlebih dahulu yang harus terlebih dahulu diperhatikan adalah drainase. Karena drainase yang baik ikut menentukan usia kebertahanan jalan.
Stop Illegal Logging
Penebangan hutan secara liar dengan tidak mempertimbangkan ekosistem alam sampai hari ini terus saja terjadi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendekatkan kita dengan banjir. Hutan-hutan yang seharusnya bisa menjadi penyangga air hujan agar tidak langsung mengalir ke hilir, kini kondisinya sangat memprihatinkan.
Hutan-hutan dibabat sesuka hati. Tidak bisa ditutupi lagi, hutan yang kita miliki sekarang dalam keadaan rusak parah. Hutan kita telah benar-benar gundul. Ini bisa dilihat ketika hujan di hulu akan terlihat keruh di hilir sebagai akibat hanyutnya tanah yang dibawa air hujan yang tidak lagi mampu disangga oleh pepohonan atau pun hutan yang ada. Ini pula bukti yang menguatkan bahwa hutan kita sudah benar-benar gundul. Ditambah lagi daerah-daerah yang mestinya menjadi daerah resapan air, sekarang dibangun gedung-gedung yang menjulang tinggi maupun rumah-rumah toko yang tersusun menghambat resapan air. Dalam hal ini, lagi-lagi pemerintah punya peran penting atas pembangunan gedung dan ruko yang telah menjamur di mana-mana di sepanjang jalan. Kenapa begitu mudahnya pemerintah mengeluarkan izin pendirian bangunan, sehingga mengabaikan aspek lingkungan yang jauh lebih penting bagi khalayak banyak.
Sudah seharusnya adanya ketegasan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal pemberian izin dan pemberian sanksi ketika izin tersebut dilanggar oleh para pihak yang berkepentingan. Sehingga mereka yang punya kepentingan tidak semena-mena menyalahkan izin yang telah diberikan oleh pihak pemerintah.
Sekarang yang mengintai kita bukan saja masalah banjir dan longsor. Tetapi kita sudah mulai merasakan hawa panas serta kesulitan untuk bernafas sebagai akibat atas berkurangnya ruang terbuka hijau yang menyumbangkan oksigen bagi makhluk hidup.
Jumat, 15 Februari 2013
Fobia Partai Politik
Fobia partai politik atau bisa dimaknai sebagai ketakutan yang berlebihan dari partai politik akhir-akhir ini terlihat mulai merebak. Maklum ketakutan ini berkaitan dengan terpaan berbagai kasus yang melibatkan banyak kader dan elit partai politik yang secara berlahan tapi pasti telah menguak satu persatu dosa-dosa mereka yang sebagian besar ada di dalam partai politik.
Berbagai kasus seakan silih berganti menghampiri hampir semua partai politik di negeri yang mengagungkan sistem demokrasi. Citra partai yang belakangan terlanjur semakin memburuk tidak lagi mampu ditopang oleh pencitraan sebagian petinggi partai karena semakin banyaknya kesalahan serta kebohongan yang telah mereka lakukan. Selain itu ketakutan yang berlebihan dari partai politik saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya menjelang pertarungan di tahun 2014 yang tidak beberapa lama lagi.
Fenomena seperti ini ternyata bukan saja menghinggapi partai besar, akan tetapi rasa ketakutan itu juga menghinggapi partai kecil dan partai baru. Tak terkecuali partai yang mengaku berasaskan agama. Semua kader partai merasa was-was karena satu persatu dari rekan politiknya ternyata harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak jarang pula di setiap kesempatan para kader partai politik sibuk berusaha menepis semua pemberitaan yang menurut mereka berdampak pada menurunnya elektabilitas partai. Berbagai usaha pun dilakukan untuk meyakinkan publik seolah-olah kejadian yang menimpa kader partai itu hanyalah sabotase yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menjadi rival politik yang merasa takut tersaingi dan lain sebagainya. Bentuk pembelaan seperti ini tentu saja akan menimbulkan berbagai spekulasi yang justru akan memperburuk citra partai.
Usaha pembelaan diri secara berlebihan bahkan dengan menuding adanya pihak lain yang sengaja ingin menghancurkan partai tertentu semakin memperjelas ketakutan sebagian dari partai politik terhadap kemungkinan kehilangan suara partai yang akan menentukan keberlangsungan partai mereka ke depan. Khususnya keinginan untuk menjadi partai pemenang pemilu di 2014.
Dengan menjadi partai pemenang pemilu maka tentunya sebagian kekuasaan ada digenggamkan sebagai konsekuensi atas kemenangan di pemilihan umum legislatif dan eksekutif, maupun di pemilihan kepala daerah. Itulah tujuan partai yang selama ini bisa dilihat. Lain dari itu rasanya agak kesulitan kita untuk menemukannya dan boleh dikatakan kekuasaanlah yang menjadi tujuan utama mereka.
Elektabilitas yang Menurun
Dari berbagai lembaga survei banyak partai politik yang elektabilitasnya menurun. Menurunnya elektabilitas sebuah partai politik tentunya tidak lain adalah sebagai respons terhadap banyaknya kesalahan dan kebohongan yang dilakukan oleh kader partai itu sendiri. Salah satu kesalahannya yang akhir-akhir ini marak diberitakan diberbagai media masa adalah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para kader partai. Walaupun kemudian sebagian dari mereka beramai-ramai membantah hasil survei tersebut.
Padahal kalau bersikap bijak hasil survei seperti ini bisa dijadikan cerminan bagi semua partai untuk memperbaiki diri. Sehingga elektabilitas partai yang saat ini menurun menjadi momen bagi semua partai untuk bisa bersama-sama memperbaiki kinerja partai. Mungkin selama ini kinerja partai belum menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat bawah yang padahal mengharapkan perhatian dan aspirasinya bisa didengar dan diperjuangkan.
Waktunya Berbenah
Pemilihan umum legislatif dan eksekutif memang tinggal hitungan beberapa bulan lagi. Dalam jangka waktu yang tersisa tersebut tentu saja masih ada kesempatan bagi partai politik peserta pemilu yang lolos dari verifikasi beberapa waktu yang lalu untuk introspeksi dan memperbaiki kinerja partai untuk kemajuan partai ke depan dan diharapkan membawa pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
Di samping menjadi kesempatan bagi partai untuk berbenah, pada rentang waktu ini pula ada harapan besar masyarakat yang digantungkan. Masyarakat tentunya mengharapkan adanya pendidikan politik yang sehat dan cerdas dari berbagai partai politik yang menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politiknya, yang mungkin selama ini terkesan mandek, karena terlalu sibuk dengan kepentingan internal partai semata.
Apa yang terjadi selama ini seperti rebutan kekuasaan yang dipertontonkan oleh para elit partai politik, sedikit banyak telah mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap partai politik. Tidak sedikit pula dari masyarakat yang memutuskan untuk bersikap apatis terhadap keberadaan partai politik karena merasa kecewa. Belum lagi berbagai kasus korupsi yang melilit sebagian besar elit dan kader partai politik semakin menguatkan asumsi negatif masyarakat, bahwa partai politik tidak lebih hanyalah tempat memproduksi para calon-calon koruptor.
Inilah tugas berat dari pengurus beserta kader partai politik tentang bagaimana menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap kinerja partai politik yang mulai hilang. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika dimulai dari petinggi partai. Dengan demikian ketika internal partai sudah bersih maka dengan sendirinya kepercayaan itu akan tumbuh kembali.
Selanjutnya jangan lupa bahwa sistem rekrutmen kader juga harus diperbaiki. Salah satunya adalah dengan memperketat sistem rekrutmen. Sehingga yang terjaring adalah kader –kader yang benar-benar mempunyai moralitas serta kualitas yang bisa diandalkan.
Senin, 11 Februari 2013
Lokalisasi Bentuk Legalisasi Prostitusi
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Mendengar kata legalisasi prostitusi mungkin respon awal kita yang keluar adalah mengutuk keras atas dalih serta landasan apapun. Karena dalam berbagai perspektif dan paham apapun, kegiatan prostitusi adalah pelanggaran terhadap norma-norma dan tatanan nilai kemanusiaan, terutama dalam etika berpikir orang timur, yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya yang masih mengakar.
Begitu juga dengan mengangkat “Lokalisasi Bentuk Legalisasi Prostitusi” sebagai sebuah judul tulisan mungkin oleh sebagian kalangan dianggap kurang populer jika dikaitkan dengan persoalan kekinian di Jambi. Namun menurut penulis bahasan tentang legalisasi praktik prostitusi bukanlah masalah ia populer atau pun tidak. Akan tetapi hal ini tetap akan menjadi masalah bersama yang pada kenyataannya masih dijumpai dalam kehidupan sosial terlepas kita mau mendiskusikannya atau tidak.
Di Jambi siapa yang tidak kenal dengan istilah “Pucuk” (sebutan untuk kawasan lokalisasi di kota Jambi). Tentu saja sebutan itu sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Jambi. Kalau mendengar kata itu orang pasti langsung memberi stigma negatif. Maaf! kalau sedikit pulgar. Di sanalah tempat di mana para laki-laki dan perempuan hidung belang melampiaskan nafsu syahwatnya. Dalam bahasa santunnya dikenal dengan istilah prostitusi, walaupun sebenarnya tidak semua orang sepakat dengan istilah itu. Lebih pulgarnya lagi di sanalah markas para pelacur, mulai dari yang amatiran sampai yang profesional yang memiliki jam terbang yang tinggi.
Praktik prostitusi bukanlah masalah baru. Ia adalah masalah lama yang dalam perjalanannya selalu menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Bagi yang pro beranggapan bahwa praktik prostitusi adalah hak asasi individu manusia yang berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan, baik biologis maupun ekonomis yang dilakukan atas dasar suka sama suka dengan imbalan tertentu. Karena dianggap sebagai hak asasi, maka mereka berpandangan tidak ada alasan untuk melarang hal tersebut. Sedangkan yang kontra menilai bahwa prostitusi adalah bentuk dari penyimpangan sosial yang bertentangan dengan norma-norma yang akan membawa pengaruh buruk terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat tentunya jangan sampai menjadikan stakeholder kehilangan akal sehat di dalam membuat sebuah kebijakan yang berkualitas.
Lokalisasi Bukan Jalan Keluar
Dengan masih berjalannya praktik prostitusi di lokalisasi sampai hari ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat tentunya. Apakah kita benar-benar serius untuk mengatasi penyakit masyarakat yang semakin meresahkan ini! Ataukah kehadiran lokalisasi ini telah berkontribusi dalam menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan berarti bagi pemerintah daerah, sehingga dirasa berat untuk ditutup!
Tidak dapat dipungkiri dari hasil berbagai kajian dan penelitian tentang prostitusi, bahwa praktik prostitusi tidak bisa serta merta dipisahkan dengan persoalan ekonomi. Ia berkaitan dengan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini prostitusi dianggap cara yang paling mudah dengan hasil yang mungkin memuaskan. Paling tidak dengan melakukan hal tersebut kebutuhan untuk hidup sehari-hari dapat terpenuhi.
Kalau dulu kita beralasan dengan adanya lokalisasi, kegiatan prostitusi itu bisa dibatasi ruang geraknya hanya di satu lokasi tertentu. Namun alasan tersebut ternyata boleh dikatakan keliru. Kalau kita lihat di lapangan kegiatan seperti ini semakin lama semakin menyebar ke semua tempat di wilayah masyarakat. Aktivitas prostitusi terjadi hampir di setiap lini tempat bahkan sudah merambah ke tempat-tempat lain yang tidak pernah diduga sebelumnya. Kalau keadaannya sudah seperti ini, kenapa lokalisasi itu sampai hari ini masih saja tetap bertahan! Bahkan dari beberapa kali pergantian pejabat baik di pemerintah Kota Jambi maupun di Provinsi Jambi belum nampak sedikit pun usaha serius untuk menutup tempat tersebut.
Masih terjadinya praktik prostitusi dilokalisasi ini tidak bisa lepas dari lemahnya peran pemerintah. Karena berkaitan dengan masalah kebijakan. Dalam persoalan kebijakan, pemerintah diberi wewenang untuk membuat suatu kebijakan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Artinya dengan mempertimbangkan segala hal yang akan berakibat buruk bagi kenyamanan masyarakat maka lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi sudah seharusnya ditutup karena kehadiran lokalisasi tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada justru akan melahirkan masalah baru.
Efek Buruk Prostitusi
Kalau boleh dikatakan lokalisasi prostitusi merupakan cerminan ketidakseriusan kita dalam mengatasi penyakit masyarakat yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Dengan dilokalisasikan tempat prostitusi secara tidak langsung kita telah melegalkan kegiatan tersebut. Padahal banyak efek buruk yang telah diakibatkan dengan adanya lokalisasi tersebut. Selain dijadikan tempat praktik prostitusi di sana juga sudah menjadi tempat transaksi narkoba dan tempat mereka mengonsumsi minuman beralkohol serta obat-obat terlarang lainnya.
Biasanya mereka mengawalinya dengan minum minuman beralkohol, selanjutnya diikuti dengan mengonsumsi obat-obat terlarang dan mengakhirinya di ranjang dengan wanita penghibur pilihannya. Di samping itu di lokalisasi prostitusi juga kerap memicu perkelahian antar pengunjung yang sering berakhir dengan korban jiwa. Kemudian dari segi kesehatan, praktik prostitusi juga telah menjadi media penyebaran berbagai jenis penyakit yang membahayakan. Tidak saja membahayakan bagi para pelaku pekerja seks itu sendiri, akan tetapi juga akan membahayakan bagi keluarganya. Termasuk kesehatan calon bayi yang akan dilahirkan.
Parahnya lagi kegiatan yang awalnya di lakukan di tempat lokalisasi ternyata sudah mulai merambah ke institusi pendidikan yang sejatinya menjadi tempat ditempanya para calon pemimpin, generasi yang diharapkan memiliki moralitas yang tinggi untuk mampu meneruskan perjuangan bangsa. Atas kenyataan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi dan merusak sebagian dari pelajar dan mahasiswa, yang seharusnya belajar dengan benar di institusi tersebut. Apakah kemudian kita akan terus membiarkan hal ini terjadi, dengan mengabaikan segala efek buruk yang akan ditimbulkan?
Pada dasarnya seks adalah sebuah kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi. Namun bukan berarti praktik tersebut harus dilegalkan dengan menyediakan tempat lokalisasi. Selama ini kita mungkin sibuk mengurus sampah organik dan non organik. Sudah saatnya pula kita memperhatikan juga “sampah” yang sesungguhnya. Ialah bentuk sampah masa kini yang telah ikut andil mengotori lingkungan sosial masyarakat, yang perlu mendapat perhatian serius dari kita semua termasuk pemerintah.
Dengan tidak segera dilakukan penutupan tempat lokalisasi, sama saja dengan melakukan pembiaran. Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan tetap membiarkan praktik prostitusi di tempat lokalisasi menurut penulis sama juga dengan melegalkan praktik prostitusi tersebut. Tentu kita berharap banyak pada pemerintah dalam menyelesaikan masalah prostitusi ini. Jangan hanya sekadar pencitraan dengan razia-razia alakadarnya. Mereka yang terjaring hanya diberikan pencerahan ringan kemudian dikembalikan. Hal tersebut tentu saja belum menyelesaikan masalah. Akhirnya mereka kembali ke habitat tempat di mana biasannya mereka beroperasi.
Sekarang kita tunggu keberanian dan ketegasan dari pemerintah untuk segera menutup lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi dan menindak tegas baik itu pelaku, penyedia maupun mereka yang telah membacking kegiatan tersebut. Berani atau tidak!
Langganan:
Komentar (Atom)