Rabu, 30 Oktober 2013

Sumpah Pemuda dan Nasib UU Kebahasaan Kita

Oleh: Mhd. Zaki, S. Sos., M. H.
Sebagai bangsa yang besar, sejatinya kita tidak melupakan begitu saja peristiwa sejarah masa lalu perjuangan bangsa. Penghargaan terhadap jasa-jasa para pejuang bangsa ini patut pula diberikan. Penghargaan terhadap para pejuang tersebut tidak cukup pula dengan hanya mengenang dan sebatas memperingati hari-hari besar nasional saja, seperti memperingati hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan hari besar nasional lainnya. 

Yang jauh lebih penting selain mengenang dan memperingati hari besar nasional yang bersejarah, pada dasarnya adalah bagaimana seluruh elemen bangsa ini bisa memaknai nilai-nilai perjuangan yang terkandung di balik berbagai peristiwa sejarah itu sendiri.

Seperti Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei yang kemudian menjadi titik tolak bagi bangkitnya pergerakan nasional bangsa ini. Hari Kebangkitan Nasional seperti diketahui dilatarbelakangi oleh lahirnya sebuah organisasi  yang diberi nama Budi Utomo yang lahir 20 Mei 1908. Lahirnya organisasi ini kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional seperti yang kita kenal sekarang ini. Setelah lahirnya organisasi Budi Utomo ini bermunculanlah berbagai pergerakan di seluruh wilayah Indonesia. 

Begitu juga dengan hari Sumpah Pemuda yang kita peringati sampai hari ini juga tidak terlepas dari pergerakan yang dibangun oleh dr. Wahidin dan dr. Sutomo masa itu. Organisasi tersebut telah mampu menumbuhkan semangat nasionalisme yang luar biasa bagi seluruh masyarakat kita, khususnya pemuda dan pemudi untuk bersatu bersama dalam mengusir penjajah. Maka kemudian lahirlah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Salah satu dari isi Sumpah Pemuda tersebut adalah “Kami Putra dan Putri Indonesia dengan ini mengaku Berbahasa satu Bahasa Indonesia”. Peristiwa ini kemudian diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, sekaligus bulan Oktober dijadikan sebagai Bulan Bahasa. 

Sebagai konsekuensi logis dari Sumpah Pemuda tersebut, sebagai bagian dari bangsa ini sudah seharusnya, baik itu pejabat maupun warga negara mentaati sumpah tersebut. Bukan sebaliknya membelakangi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penggunaan Bahasa Indonesia harus diutamakan. 

Nasib UU Kebahasaan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan atau yang biasa dikenal dengan sebutan Undang-Undang Kebahasaan juga tidak terlepas dari peristiwa sejarah. Khususnya berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dimana bahasa mempunyai peranan penting dalam mempersatukan bangsa ini, karena ia sebagai pengikat sekaligus juga sebagai jembatan pemersatu bangsa.

Seperti diketahui secara geografis Indonesia terdiri dari  beribu-ribu pulau jumlahnya. Selain itu masing-masing pulau maupun daerah terdiri dari beraneka ragam adat istiadat, budaya, suku maupun bahasa. Bisa dibayangkan, kalau saja masing-masing masyarakat tersebut menggunakan bahasa daerahnya masing-masing dalam pergaulan dengan masyarakat lain (nasional), tentu masyarakat lain tersebut akan sulit untuk bisa mengerti, sehingga pesan yang disampaikan tidak akan bisa diterima atau dimengerti dengan baik. Maka terjadilah ‘kegagalan’ dalam berkomunikasi. 

Maka di situlah peran bahasa, khususnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus mampu dimengerti oleh penerima pesan (komunikan), sehingga penerima pesan bisa memahami apa maksud yang disampaikan oleh yang meyampaikan pesan, dalam istilah komunikasi disebut komunikator. 

Melihat pentingnya peranan bahasa, maka diaturlah hal tersebut dalam sebuah Undang-Undang (UU) Kebahasaan. Dalam Bab III diatur khusus tentang Bahasa Negara. Pasal 33 Ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 33 Ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.

Namun dalam praktik sering kali kita temukan pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut, sehingga aturan tersebut seperti ‘sampah’ yang tidak berguna. Yang mirisnya lagi pelanggaran tersebut sering pula dilakukan oleh para penyelenggara negara yang mestinya bisa memberikan contoh yang baik bagi warga negara, khususnya dalam hal penggunakan bahasa.

Hal ini bisa kita lihat dalam forum resmi, baik yang berskala nasional, maupun skala internasional, bagaimana seorang pejabat negara tidak terkecuali presiden dengan semangat dan bangganya menggunakan bahasa asing. 

Bersyukurlah sebagai bangsa kita masih memiliki Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Karena tidak semua negara di dunia ini memiliki bahasa nasional sendiri. Adalah mustahil cita-cita kita untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang diakui dunia bisa terwujud, jika kita sendiri enggan menggunakannya. Mari mulai sekarang kita utamakan penggunaan bahasa Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...