Rabu, 30 Oktober 2013

Kompleksitas di Lokalisasi

Oleh: Mhd. Zaki, S. Sos., M. H.*
Niat baik anggota dewan beserta Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi untuk menutup lokalisasi di Jambi dengan dirumuskannya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang diharapkan akan menjadi Peraturan Daerah (Perda) patut mendapat apresiasi. Walaupun hal ini oleh banyak kalangan dinilai telat, setelah dampak buruk dari kehadiran lokalisasi tersebut telah berhasil mengontaminasi kehidupan masyarakat di “Tanah Pilih Pusako Betuah” yang dikenal dengan masyarakatnya yang sopan, santun dan teguh terhadap nilai-nilai agama dan budayanya. 

Wacana penutupan lokalisasi kali ini, bukan kali yang pertama. Sebelumnya jauh-jauh hari juga sudah pernah diwacanakan oleh wakil rakyat beserta Pemkot setelah mendengar keluhan serta tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat, tentang dampak buruk yang ditimbulkan dengan beroperasinya kegiatan ‘esek-esek’ di lokalisasi tersebut (baca Lokalisasi Bentuk Legalisasi Prostitusi). 

“Pucuk” sebutan untuk tempat lokalisasi di Jambi seperti diketahui sudah beroperasi bertahun-tahun lamanya. Iya tampil bukan lagi sebagai bisnis ‘ecek-ecek’, tetapi ia sudah menjelma menjadi bisnis besar yang mampu menyerap banyak tenaga kerja yang tentu menjanjikan lagi menggiurkan. Jadi wajar saja jika selama ini wacana penutupan lokasi ini berhenti sebatas wacana, lalu menguap begitu saja sampai sekarang.

Prositusi Dimana-mana
Hampir di semua daerah mempunyai sebutan khusus untuk lokasi tempat penyaluran nafsu sahwat yang tidak legal tersebut.  Seperti di daerah Jawa Barat, ada yang namanya “Kampung Arab” yang sudah menjadi rahasia umum sebagai tempat yang kononnya didominasi oleh warga Arab dalam menyalurkan libidonya. 
Di kota-kota besar dewasa ini praktik prostitusi begitu marak, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang dilakukan secara terselubung seperti panti pijat plus-plus, Salon plus-plus kost-kostan maupun hotel berbintang. Begitu juga dengan di Jambi, sebagian masyarakatnya tentu tidak asing lagi dengan istilah ”Pucuk”. Hal ini membuktikan bahwa praktik prostitusi terjadi dimana-mana. 
Kegiatan seperti di Kampung Arab di Jawa Barat, Pucuk di Jambi dan lain sebagainya tentu tidak lahir dengan begitu saja. Banyak hal yang menjadikan kegiatan prostitusi (pelacuran) semakin berkembang dengan pesat. 

Munculnya Prostitusi
Harus diakui bahwa, lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi bukanlah persoalan penyimpangan sosial semata, bagaimana kebutuhan rohani itu bisa dipenuhi dengan cara yang tidak etis. Di lokalisasi tersimpan persoalan yang kompleks yang di dalamnya penuh dengan persoalan-persoalan yang belum terselesaikan. Pertama, Persoalan Ekonomi. Banyak pekerja seks yang terpaksa melacurkan diri dengan alasan ekonomi. Apalagi hidup di kota-kota besar. Banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi setiap harinya berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sehingga ‘menjual diri’ dianggap sebagai jalan pintas yang pas untuk tetap bisa melanjutkan hidup yang semakin keras. Apalagi seseorang tersebut tidak mempunyai keahlian atau pun pendidikan yang memadai.

Kedua, Persoalan Sosial. Disparitas atau kesenjangan sosial yang terlalu mencolok antara yang kaya dan yang miskin juga bisa mendorong seseorang untuk terjun ke dunia hina ini. Siapa yang tidak ingin hidupnya berkecukupan. Tentu sebagai manusia yang normal, punya cita-cita untuk menjadi orang yang mapan di segala bidang serta ingin diakui status strata sosialnya.  

Ketiga, Persoalan Kepentingan. Dengan masih tetap beroperasinya kegiatan prostitusi di lokalisasi tidak bisa lepas dari berbagai kepentingan di situ. Ada kepentingan Muncikari sebagai penyalur. Semakin laris “anak asuhannya” semakin banyak pula setoran yang akan mereka terima. 

Kemungkinan keterlibatan oknum aparat juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena mustahil rasanya tempat ini bisa tetap beroperasi kalau saja instansi terkait pemerintah dalam menangani masalah ini bisa bertindak tegas. 

Kepentingan para bandar narkoba juga ada di lokalisasi. Sebagian besar para ‘pengunjung’ yang menggunakan jasa wanita-wanita nakal juga menggunakan barang haram seperti narkoba dan minuman beralkohol. Kalau tempat ini ditutup jelas para bandar akan kehilangan pasar potensial mereka. 
Keempat, Persoalan Moral dan Keagamaan. Tidak dapat dibantah bahwa persoalan moral dan keagamaan pada hari ini dalam keadaan yang mengkhawatirkan, yakni sedang mengalami degradasi dan dekadensi. Perkembangan zaman yang semakin cepat justru tidak diimbangi dengan penguatan moral dan peningkatan kualitas iman masing-masing individu. 

Persoalan moral dan keagamaan pada dasarnya menjadi benteng terakhir bagi seseorang dalam menangkis dan membendung ancaman-ancaman dari luar. Maka diperlukan usaha-usaha penguatan moral dengan menanamkan nilai-nilai luhur budaya ketimuran, khususnya Jambi dengan budaya melayunya yang akan merasa malu ketika melanggar norma-norma yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan yang menjadi sumber kebaikan.

Peran Kita Semua 
Persoalan yang kita hadapi hari ini, bukanlah persoalan baru, melainkan persoalan lama yang sering terjadi di depan mata, hanya saja kita lalai dan lengah, sehingga dampaknya menjadi meluas. Apalagi hal ini telah melibatkan anak-anak di bawah umur, pelajar dan mahasiwa. 

Sudah seharusnya pemerintah menggunakan kewenangannya dalam bentuk aturan hukum untuk mengatasi dampak buruk dari kehadiran lokalisasi, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan tersebut. Selain itu, masyarakat luas juga harus pro aktif menjalankan peran kontrol sosial dengan tetap jeli terhadap lingkungan sekitar, dengan segera melaporkan ke pihak yang berwenang jika ditemui kegiatan-kegiatan yang mencurigakan untuk membatasi ruang gerak praktik prostitusi dan penyakit masyarakat lainnya.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...