Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Mendengar kata legalisasi prostitusi mungkin respon awal kita yang keluar adalah mengutuk keras atas dalih serta landasan apapun. Karena dalam berbagai perspektif dan paham apapun, kegiatan prostitusi adalah pelanggaran terhadap norma-norma dan tatanan nilai kemanusiaan, terutama dalam etika berpikir orang timur, yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya yang masih mengakar.
Begitu juga dengan mengangkat “Lokalisasi Bentuk Legalisasi Prostitusi” sebagai sebuah judul tulisan mungkin oleh sebagian kalangan dianggap kurang populer jika dikaitkan dengan persoalan kekinian di Jambi. Namun menurut penulis bahasan tentang legalisasi praktik prostitusi bukanlah masalah ia populer atau pun tidak. Akan tetapi hal ini tetap akan menjadi masalah bersama yang pada kenyataannya masih dijumpai dalam kehidupan sosial terlepas kita mau mendiskusikannya atau tidak.
Di Jambi siapa yang tidak kenal dengan istilah “Pucuk” (sebutan untuk kawasan lokalisasi di kota Jambi). Tentu saja sebutan itu sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Jambi. Kalau mendengar kata itu orang pasti langsung memberi stigma negatif. Maaf! kalau sedikit pulgar. Di sanalah tempat di mana para laki-laki dan perempuan hidung belang melampiaskan nafsu syahwatnya. Dalam bahasa santunnya dikenal dengan istilah prostitusi, walaupun sebenarnya tidak semua orang sepakat dengan istilah itu. Lebih pulgarnya lagi di sanalah markas para pelacur, mulai dari yang amatiran sampai yang profesional yang memiliki jam terbang yang tinggi.
Praktik prostitusi bukanlah masalah baru. Ia adalah masalah lama yang dalam perjalanannya selalu menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Bagi yang pro beranggapan bahwa praktik prostitusi adalah hak asasi individu manusia yang berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan, baik biologis maupun ekonomis yang dilakukan atas dasar suka sama suka dengan imbalan tertentu. Karena dianggap sebagai hak asasi, maka mereka berpandangan tidak ada alasan untuk melarang hal tersebut. Sedangkan yang kontra menilai bahwa prostitusi adalah bentuk dari penyimpangan sosial yang bertentangan dengan norma-norma yang akan membawa pengaruh buruk terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat tentunya jangan sampai menjadikan stakeholder kehilangan akal sehat di dalam membuat sebuah kebijakan yang berkualitas.
Lokalisasi Bukan Jalan Keluar
Dengan masih berjalannya praktik prostitusi di lokalisasi sampai hari ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat tentunya. Apakah kita benar-benar serius untuk mengatasi penyakit masyarakat yang semakin meresahkan ini! Ataukah kehadiran lokalisasi ini telah berkontribusi dalam menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan berarti bagi pemerintah daerah, sehingga dirasa berat untuk ditutup!
Tidak dapat dipungkiri dari hasil berbagai kajian dan penelitian tentang prostitusi, bahwa praktik prostitusi tidak bisa serta merta dipisahkan dengan persoalan ekonomi. Ia berkaitan dengan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini prostitusi dianggap cara yang paling mudah dengan hasil yang mungkin memuaskan. Paling tidak dengan melakukan hal tersebut kebutuhan untuk hidup sehari-hari dapat terpenuhi.
Kalau dulu kita beralasan dengan adanya lokalisasi, kegiatan prostitusi itu bisa dibatasi ruang geraknya hanya di satu lokasi tertentu. Namun alasan tersebut ternyata boleh dikatakan keliru. Kalau kita lihat di lapangan kegiatan seperti ini semakin lama semakin menyebar ke semua tempat di wilayah masyarakat. Aktivitas prostitusi terjadi hampir di setiap lini tempat bahkan sudah merambah ke tempat-tempat lain yang tidak pernah diduga sebelumnya. Kalau keadaannya sudah seperti ini, kenapa lokalisasi itu sampai hari ini masih saja tetap bertahan! Bahkan dari beberapa kali pergantian pejabat baik di pemerintah Kota Jambi maupun di Provinsi Jambi belum nampak sedikit pun usaha serius untuk menutup tempat tersebut.
Masih terjadinya praktik prostitusi dilokalisasi ini tidak bisa lepas dari lemahnya peran pemerintah. Karena berkaitan dengan masalah kebijakan. Dalam persoalan kebijakan, pemerintah diberi wewenang untuk membuat suatu kebijakan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Artinya dengan mempertimbangkan segala hal yang akan berakibat buruk bagi kenyamanan masyarakat maka lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi sudah seharusnya ditutup karena kehadiran lokalisasi tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada justru akan melahirkan masalah baru.
Efek Buruk Prostitusi
Kalau boleh dikatakan lokalisasi prostitusi merupakan cerminan ketidakseriusan kita dalam mengatasi penyakit masyarakat yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Dengan dilokalisasikan tempat prostitusi secara tidak langsung kita telah melegalkan kegiatan tersebut. Padahal banyak efek buruk yang telah diakibatkan dengan adanya lokalisasi tersebut. Selain dijadikan tempat praktik prostitusi di sana juga sudah menjadi tempat transaksi narkoba dan tempat mereka mengonsumsi minuman beralkohol serta obat-obat terlarang lainnya.
Biasanya mereka mengawalinya dengan minum minuman beralkohol, selanjutnya diikuti dengan mengonsumsi obat-obat terlarang dan mengakhirinya di ranjang dengan wanita penghibur pilihannya. Di samping itu di lokalisasi prostitusi juga kerap memicu perkelahian antar pengunjung yang sering berakhir dengan korban jiwa. Kemudian dari segi kesehatan, praktik prostitusi juga telah menjadi media penyebaran berbagai jenis penyakit yang membahayakan. Tidak saja membahayakan bagi para pelaku pekerja seks itu sendiri, akan tetapi juga akan membahayakan bagi keluarganya. Termasuk kesehatan calon bayi yang akan dilahirkan.
Parahnya lagi kegiatan yang awalnya di lakukan di tempat lokalisasi ternyata sudah mulai merambah ke institusi pendidikan yang sejatinya menjadi tempat ditempanya para calon pemimpin, generasi yang diharapkan memiliki moralitas yang tinggi untuk mampu meneruskan perjuangan bangsa. Atas kenyataan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi dan merusak sebagian dari pelajar dan mahasiswa, yang seharusnya belajar dengan benar di institusi tersebut. Apakah kemudian kita akan terus membiarkan hal ini terjadi, dengan mengabaikan segala efek buruk yang akan ditimbulkan?
Pada dasarnya seks adalah sebuah kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi. Namun bukan berarti praktik tersebut harus dilegalkan dengan menyediakan tempat lokalisasi. Selama ini kita mungkin sibuk mengurus sampah organik dan non organik. Sudah saatnya pula kita memperhatikan juga “sampah” yang sesungguhnya. Ialah bentuk sampah masa kini yang telah ikut andil mengotori lingkungan sosial masyarakat, yang perlu mendapat perhatian serius dari kita semua termasuk pemerintah.
Dengan tidak segera dilakukan penutupan tempat lokalisasi, sama saja dengan melakukan pembiaran. Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan tetap membiarkan praktik prostitusi di tempat lokalisasi menurut penulis sama juga dengan melegalkan praktik prostitusi tersebut. Tentu kita berharap banyak pada pemerintah dalam menyelesaikan masalah prostitusi ini. Jangan hanya sekadar pencitraan dengan razia-razia alakadarnya. Mereka yang terjaring hanya diberikan pencerahan ringan kemudian dikembalikan. Hal tersebut tentu saja belum menyelesaikan masalah. Akhirnya mereka kembali ke habitat tempat di mana biasannya mereka beroperasi.
Sekarang kita tunggu keberanian dan ketegasan dari pemerintah untuk segera menutup lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi dan menindak tegas baik itu pelaku, penyedia maupun mereka yang telah membacking kegiatan tersebut. Berani atau tidak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar...