Rabu, 17 April 2013

Twitter sang Presiden

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Akhirnya sang presiden memiliki akun twitter. Sebelumnya rencana launching akun twitter sang presiden akan bersamaan dengan rencana reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ramai menghiasi berita di media masa beberapa hari yang lalu. Hal ini tentu saja menarik untuk dicermati sekaligus dikomentari. Apa lagi akun yang telah di-launcing bukan sembarangan, ini adalah akun milik sang presiden. 

Seperti diketahui di zaman sekarang ini teknologi berkembang begitu pesatnya. Penyebaran  informasi juga menjadi lebih cepat. Begitu juga dengan jejaring sosial seperti twitter yang sampai hari ini memiliki pengguna lebih dari 200 juta orang dari seluruh belahan dunia. Ia berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan menjadi sarana interaksi yang mempunyai peranan penting dan patut untuk diperhitungkan. Tak dapat dipungkiri bahwa jejaring sosial menjadi sarana interaksi yang tak terbatas oleh dimensi ruang dan waktu.

Banyak pemimpin dunia telah merasakan begitu besarnya manfaat dari jejaring sosial ini. Salah satunya adalah Barack Obama. Yang saat ini menjadi orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat. Yang sekaligus tercatat sebagai warga kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika. Obama telah membuktikan bahwa begitu dahsyatnya peran jejaring sosial bila dimanfaatkan dengan cerdas. 
Belajar dari pengalaman para pemimpin dunia dalam memanfaatkan jejaring sosial, lalu apakah sang presiden akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Barack Obama dan para pemimpin dunia lainnya? Tentu masyarakat masih sangat penasaran.  

Dari berbagai literatur, penulis mendapatkan ada beberapa fungsi dari jejaring sosial. Pertama, ia berfungi dalam rangka memperluas interaksi yang berdasarkan keberagaman. Baik itu perbedaan, maupun persamaan dari masing-masing individu. Ia mempertemukan kesamaan nilai serta karakteristik yang dimiliki oleh masing- masing individu. Ia mampu mengingatkan kembali nostalgia bersama yang pernah terbangun dalam interval waktu tertentu yang membuat orang merasakan indahnya sebuah kebersamaan masa lampau. Berkaitan dengan hal tersebut, mampukah sang presiden membangun interaksi yang baik dengan masyarakat maupun para tokoh nasional yang dulunya terjalin romantis? Kemudian dengan memanfaatkan jejaring sosial ini mampukah beliau mengembalikan nostalgia bahwa bangsa ini pernah menjadi bangsa yang disegani oleh dunia? 

Kedua, jejaring sosial berperan dalam menambah wawasan, khasanah pengetahuan. Karena di dalam sebuah jejaring sosial akan ditemukan berbagai informasi yang akan menambah pengetahuan masing-masing individu. Dengan memanfaatkan jejaring sosial kita bisa mendapatkan berbagai informasi dari sebuah pertemanan di dunia maya, begitu juga sebaliknya, kita juga bisa memberikan informasi. Wawasan seputar apakah yang kira-kira hendak dibagikan sang presiden di sela-sela kesibukannya mengurus bangsa ini? 

Ketiga, ia bisa digunakan untuk membangun opini publik dan pencitraan. Biasanya fungsi ini dimanfaat oleh para politisi dan para pejabat. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Obama seperti yang penulis contohkan di atas. Ia berhasil membangun opini publik dan menarik simpati dari para follower-nya dan terbukti ia terpilih kembali memimpin Amerika. Dalam hal ini mungkin sang presiden (SBY) saat ini lebih berpengalaman. Namun kira-kira opini apakah yang akan dibangun? Hanya sang presidenlah yang tahu. Seperti diketahui untuk mencalonkan kembali menjadi presiden sudah tidak memungkinkan lagi karena terbentur aturan yang berlaku. 

Secara umum, tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh sang presiden. Tapi mungkin sekadar mempertanyakan, kenapa akun twitter-nya baru mau akan dibuat di akhir masa pemerintahannya yang tinggal beberapa bulan lagi. Tentu hal ini harus bisa dijelaskan ke publik, sehingga tidak terjadi spekulasi-spekulasi yang akan mempengaruhi sistem kerja penyelenggara negara, serta dapat memperkeruh suasana yang akan menghambat percepatan pembangunan bangsa ini.

Masyarakat kini masih menunggu dan menyimak sang presiden akan menggunakan akun twitter-nya untuk apa saja. Kalau hanya untuk menumpahkan kekecewaan ataupun berkeluh kesah, tentu saja sangat disayangkan. Bukan apa-apa karena jika dimanfaatkan hanya untuk curhat atau pun berkeluh kesah tidak menutup kemungkinan sang presiden akan semakin dicibir oleh para follower-nya. Karena indikasi itu sudah bisa dibaca ketika muncul berbagai kelompok yang merasakan ketidakpuasan atas kepemimpinan sang presiden, dan menginginkan beliau untuk segera mundur. 

Terlepas dari itu semua hendaknya kemudahan teknologi ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Walaupun pada kenyataannya twitter kerap dijadikan media untuk saling sentil menyentil seperti apa yang pernah dilakukan oleh para politisi kita. Kalau saja jejaring sosial digunakan untuk hal seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan jejaring sosial akan beralih fungsi menjadi sarana perang urat saraf. 
Semoga saja dengan akun baru twitter yang dimiliki sang presiden, bisa menjawab semua keluhan masyarakat dengan tindakan nyata di lapangan. Bukan hanya sebatas kicauan kosong semata.


Selasa, 16 April 2013

Pengusaha Batubara Mengangkangi (Lagi) Perda

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi dan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Jambi Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkutan Batubara nampaknya kembali “dikangkangi”. Inilah polah tingkah tak terpuji yang belakangan ini dilakukan oleh para pengusaha batubara setelah sebelumnya tercatat sudah beberapa kali membuat kesepakatan dengan pemerintah daerah, namun kesepakatan tersebut hanya di atas kertas yang pada perjalanannya tetap saja diingkari. 

Sebelum  Perda dan Pergub ini dibuat, sebenarnya juga sudah ada kesepakatan moratorium tentang angkutan batubara yakni penundaan atau penghentian sementara aktivitas pengangkutan batubara yang menggunakan jalur darat sebelum dibuat Perda dan Pergub. Namun moratorium itu juga tidak berjalan seperti harapan masyarakat. Selanjutnya setelah Perda itu disahkan pemerintah juga telah memberi toleransi pemberlakuan Perda moratorium batubara ini yang seharusnnya mulai per 1 Januari 2013 ditunda hingga 1 April 2013. Namun sampai saat ini masih dijumpai pelanggaran.

Yang mengecewakan lagi adalah langkah moratorium sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat sering dibalas dengan aksi mogok para supir truk pengangkut batubara di sepanjang jalan umum yang sering mereka lewati. Hal ini menurut penulis sama saja dengan “mengangkangi” Perda dan Pergub tersebut. Aksi tersebut terang saja telah mengganggu dan merugikan masyarakat pengguna jalan umum lainnya. 

Tentunya ini menjadi tanda  tanya, apa sesungguhnya yang terjadi?, sehingga Perda dan Pergub yang telah dibuat oleh pemerintah daerah itu seakan tidak pernah mereka patuhi. Benarkah pemerintah daerah telah kehilangan wibawa sebagai pembuat kebijakan, sekaligus perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah?

Perlu Ketegasan
Dalam kasus ini ada dua kemungkinan yang perlu dicermati. Pertama, kalau diamati selama ini pemerintah daerah boleh dikatakan belum menunjukkan keseriusan terhadap penegakan Perda dan Pergub yang telah mereka buat. Aparat yang semestinya berwenang melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran Perda dan Pergub tesebut juga belum bekerja secara maksimal. Ini bisa dilihat bagaimana para supir truk yang melanggar sampai hari ini belum ada yang dikenai sanksi tegas sebagai konsekuensi atas pelanggaran Perda dan Pergub tersebut. 

Ketidaktegasan para aparat dalam mengawasi dan bertindak terhadap pelanggaran Perda dan Pergub yang dilakukan oleh para supir truk pengangkut batubara tersebut semakin membuat para supir angkutan batubara menjadi leluasa melewati jalan umum tanpa rasa bersalah. Padahal pengaturan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, salah satunya menjaga agar kondisi jalan menjadi lebih awet.

Kedua, itikad baik atau keinginan yang sungguh-sungguh dari kalangan pengusaha batubara untuk membuat jalur khusus dan memanfaatkan jalur sungai sebagai jalur alternatif angkutan batubara perlu dipertanyakan. Sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) Perda No 13 tahun 2013 mengatur: Setiap pengangkutan batubara dalam Provinsi Jambi wajib melalui jalan khusus atau jalur sungai. Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan “jalan khusus” adalah jalan yang dibangun oleh pelaku usaha yang digunakan untuk jalur pengangkutan batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan terminal batubara.

Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa para pelaku usaha batubara berkewajiban membangun sarana jalan khusus untuk jalur pengangkutan batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan terminal batubara. Namun pengusaha nampaknnya keberatan dengan aturan tersebut. Maklum untuk membangun jalan khusus memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hitung-hitungan untung rugi bagi perusahaan tentu lebih mereka utamakan. 
   
Kemungkinan Pihak yang Bermain
Dengan kejadian ini tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara yang tidak legal. Seperti diketahui sebelum diberlakukan Perda dan Pergub tentang angkutan batubara, mereka yang mengangkut batubara melalui jalan umum dikenai retribusi yang disetorkan ke petugas dilapangan. 

Dengan masih dijumpainya truk pengangkut batubara yang melintasi jalan umum patut diduga masih adanya oknum yang menerima upeti dari para pengusaha khususnya dari para supir truk yang melintasi jalan umum tersebut. Karena rasanya tidak mungkin mereka berani melintasi jalan umum kalau seandainya mereka tidak banyar setoran. 

Sekarang sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas, baik kepada pengusaha batubara, maupun kepada oknum yang terlibat terbukti menerima upeti dari pengusaha batubara. Karena ini menyangkut nama baik dan kewibawaan gubernur selaku kepala daerah.


Dimuat di Media Online Metro Jambi, 11 April 2013


Jumat, 12 April 2013

Keranjingan Kekuasaan


Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Keranjingan kekuasaan yang diidap oleh para pencari kekuasaan akhir-akhir ini, sepertinya terus saja meluas. Keinginan yang besar untuk berkuasa itu semakin meluap-luap, dan mengalir dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Tidak berhenti sampai di situ. Aliran itu kemudian merembes dari institusi yang satu ke institusi yang lain. Bahkan luapan dan rembesan keinginan yang besar untuk berkuasa bukan tidak mungkin akan menenggelamkan masyarakat beserta mimpi-mimpi sederhana yang mereka gantungkan kepada penyelenggara negara sebagai pemegang kekuasaan untuk mengelola bangsa dan negara yang lagi dirundung banyak masalah ini. Ada cita–cita yang dititipkan  dalam mekanisme pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, yang telah disepakati di awal pembentukan negara ini, untuk menjadi sarana menuju masyarakat yang sejahtera katanya. 

Oleh sebagian orang, kekuasaan dianggap sebagai sesuatu hal yang seksi. Sehingga dengan keseksiannya itu telah berhasil menggoda atau menarik perhatian mereka yang haus akan kekuasaan. Keranjingan kekuasaan di lapangan ternyata tidak hanya terjadi di institusi politik seperti partai politik. Akan tetapi keranjingan kekuasaan ini juga terjadi di institusi pemerintah atau birokrasi. Baik itu di institusi pendidikan, kementrian dan lembaga, pranata hukum dan juga di pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Begitu keranjingannya mereka terhadap kekuasaan, sikut-menyikut serta pengabaian prosedur pun mereka lakukan. Baik secara tertutup, setengah tertutup, maupun dengan cara yang sangat terbuka atau terang-terangan. Pada akhirnya berburu dan berpetualang kekuasaan menjadi suatu pemandangan yang sudah biasa di republik ini. 

Kekuasaan bisa diumpamakan seperti candu. Candu dengan daya pikatnya yang luar biasa. Mereka yang terjerat, padahal yang sebelumnya hanya sekadar mencoba tentu saja akan kesulitan untuk melepaskan diri dari jeratan itu. Ia seperti perangkap yang mencengkeram kuat. Candu akan berlahan melemahkan, bahkan bisa juga melumpuhkan sistem kerja saraf dalam tubuh si pecandu tersebut. Sehingga mereka akan menjadi lemah dan mengikuti segala kata hati mereka yang sedang berhalusinasi sebagai akibat pengaruh dari candu tersebut. 

Begitu juga dengan kekuasaan. Ia tidak terlalu jauh berbeda seperti orang yang sedang kecanduan atau ketergantungan. Rasa nyaman selama berkuasa yang menghinggapi seseorang akan menjalar ke sistem saraf yang akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Sehingga secara berlahan akan terlihat dengan jelas pengaruh yang timbulkan kekuasaan tersebut terhadap hasrat untuk kembali berkuasa. Kecenderungan seperti  itu bisa dijumpai di di mana-mana. Berbagai cara pun akan dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan itu. Kalau kekuasaan itu sudah melekat, dan sudah merasa nyaman, ia senantiasa akan dipertahankan.

Berburu Kekuasaan
Umumnya mereka yang keranjingan akan kekuasaan biasanya lebih jeli. Mata, telinga, mereka pasang untuk melihat, mendengar, dan mengamati di daerah mana saja yang mungkin mereka bisa ikut bertarung memperebutkan kekuasaan. Di samping itu mereka juga sering mengumbar janji-janji yang membuat masyarakat itu terpikat atau terpedaya dan mau memberikan dukungan kepadanya. Dan pencitraan adalah salah satu ciri dari usaha mengejar kekuasaan. 

Bahkan ada yang rela meninggalkan jabatan yang sedang ia sandang demi mengejar kekuasaan yang lebih tinggi dan menjanjikan. Di satu sisi hal ini menunjukkan usaha mereka yang begitu gigih. Namun di sisi lain, usaha mereka cenderung tidak didasari oleh niat tulus dan ikhlas untuk sepenuhnya bisa memajukan kesejahteraan masyarakat banyak. Padahal kalau saja kemampuan dan kegigihan dari sebagian mereka yang selama ini mungkin hanya peka terhadap peluang kekuasaan saja, tentu idealnya mereka juga harus lebih peka terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Hal tersebut penting, karena untuk menghindari jangan sampai nanti ada kesan bahwa mereka cuma mengharapkan suara atau dukungan untuk pemilihan saja. Akan tetapi mereka juga harus bisa menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah yang kehidupannya semakin terhimpit. 

Esensi Kekuasaan 
Pada dasarnya kekuasaan dipergunakan untuk menjadi sarana dalam usaha mencapai tujuan bersama. Bukan sebaliknya, kekuasaan menjadi sebuah tujuan akhir. Dalam hal ini adalah tujuan yang  telah diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945 yakni: merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.  
Apalagi sekarang menjelang pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Tidak jarang pula ada yang memanfaatkan sisa-sisa kekuasaannya yang mungkin tinggal beberapa bulan lagi untuk menjadi batu loncatan menuju kekuasaan berikutnya. Di antara mereka sepertinya memang belum siap untuk menanggalkan atribut kekuasaan yang sudah terlanjur nyaman bagi mereka. Padahal pergantian kekuasaan itu adalah bentuk dari dinamika dalam sebuah negara demokrasi. Namun hal tersebut sepertinya diabaikan.

Salah satu contoh adalah dalam hal memanfaatkan iklan layanan masyarakat sebagai media untuk mensosialisasikan diri. Mereka yang sekarang masih berkuasa tentu saja diuntungkan. Karena mereka bisa memanfaatkan sisa-sisa kekuasaannya yang masih punya pengaruh dalam sistem birokrasi saat ini. Orang awam tentu saja tidak akan menduga bahwa iklan layanan masyarakat itu adalah bentuk kampanye terselubung.  

Mereka sepertinya tidak pernah merasa jera. Padahal seperti diketahui bahwa banyak sekali mantan penguasa yang tersandung dengan masalah hukum dengan menghabiskan masa pensiunnya di tahanan.  Namun nampaknya hal itu sedikit pun tidak membuat mereka merasa khawatir. Mereka tetap juga ngotot ingin berburu kekuasaan. Apa memang mereka serius untuk mengabdi bagi pembangunan bangsa atau malah sebaliknya. 

Selasa, 09 April 2013

Tumbangnya Sang Incumbent

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Berdasar hasil pleno Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Kabupaten Merangin yang digelar di gedung DPRD Kabupaten Merangin Minggu (31/3) kemarin, pasangan Harkad (Haris-Khafid) berhasil memperoleh 36,59 persen suara atau 71.059 pemilih meninggalkan rival politiknya dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Bupati dan Wakil Bupati Merangin untuk periode 2013-2018 yang dilaksanakan 25 Maret 2013 yang lalu. Dengan perolehan hasil suara tersebut, maka pasangan Harkad dipastikan akan memimpin Merangin lima tahun ke depan.

Keberhasilan pasangan Harkad mengungguli rival politiknya khususnya dari calon incumbent yakni Nalim-Salam (Nasa) menjadi catatan tersendiri yang menarik bila dikaitkan dengan dinamika politik di Merangin khususnya, dan di Provinsi Jambi umumnya. Karena seperti diketahui bahwa calon incumbent yakni Nalim yang berpasangan dengan Salam di usung oleh salah satu partai besar yang nota bene adalah partai elit pemenang pemilu yakni Partai Demokrat, dan beberapa partai lain seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Barisan Nasional (Barnas), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).  

Apa yang terjadi di Pemilukada Merangin dengan kalahnya calon incumbent tersebut telah melahirkan berbagai spekulasi dan tentunya menyisakan setumpuk tanda tanya yang yang menarik untuk dicermati. Di samping itu, kekalahan ini sekaligus mementahkan opini publik jika calon incumbent sulit untuk dikalahkan. Secara teori mungkin benar. Karena ada beberapa faktor yang membuat calon incumbent itu diuntungkan, seperti: popularitas dan penguasaan opini publik. Sebagai orang yang masih menjabat, yang masih mempunyai pengaruh di wilayahnya calon incumbent tentu saja lebih dikenal oleh masyarakat bila dibandingkan dengan calon lain yang harus bekerja dengan ekstra untuk mensosialisasikan diri agar dikenal luas oleh masyarakat.

Suara Partai ke Mana?
Dengan hasil ini, ke mana sesungguhnya suara partai pendukung itu dilabuhkan? Sehingga calon yang didukung oleh partai besar tersebut harus ketinggalan jauh dari calon yang didukung oleh partai lain. Benarkah calon tersebut didukung dengan sepenuh hati oleh para petinggi partai khususnya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang secara organisatoris punya pengaruh dalam mengarahkan suara kader dan simpatisan partai, sehingga mesin partai tidak berjalan.
Selanjutnya sudahkan para petinggi serta semua kader partai itu all out untuk mendukung calon yang telah ditentukan oleh partai tersebut. Tidakkah terjadi perpecahan di internal partai di daerah, sehingga terkesan lain di atas lain lagi di bawah. Dalam artian intruksi dari pengurus di level atas tidak berbanding lurus dengan apa yang dilakukan di level bawah.

Atau mungkin karena pengaruh kisruh partai di pusat yang berimbas terhadap kesolidan para kader dan simpatisan yang berada di daerah. Karena seperti diketahui Partai Demokrat tengah menghadapi persoalan serius yang berkaitan dengan berbagai kasus yang melibatkan para kader partai. Atau juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja partai yang dinilai belum serius dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Boleh jadi kekalahan calon incumbent di Merangin merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan politik selama lima tahun menjabat yang dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terutama yang berkaitan dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. 

Ditambah lagi selama menjabat calon incumbent tidak mampu mewujudkan janji-janji politik yang telah terlanjur diumbar ketika masa kampanye dulu, padahal janji-janji politik itu harus diakui dulunya pernah mampu memikat para pemilih. Namun setelah menjabat sering kali calon incumbent mengingkari janji yang menjadikan masyarakat berusaha mencari calon alternatif yang kira-kira menurut mereka mampu mendengarkan dan mau memperjuangkan keinginan masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat memiliki mimpi yang sama, yakni menginginkan sebuah perubahan. Dan perubahan itu adalah perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Bukan sebaliknnya. Dengan melihat kepemimpinan calon incumbent selama ini, tentu masyarakat Merangin paham betul tipe pemimpin seperti apa yang dibutuhkan saat ini untuk membangun Merangin ke depan, dan tipe itu menurut masyarakat Merangin mungkin ada di pasangan calon Harkad. 

Tingkat pendidikan masyarakat juga berpengaruh terhadap kekalahan calon incumbent. Tingkat pendidikan masyarakat Merangin saat ini tentu berbeda dengan masa lima tahun yang lalu. Masyarakat saat ini sudah mulai cerdas, dalam hal menentukan sebuah pilihan mereka pun sudah mulai rasional. Penyampaian visi dan visi serta program kerja para calon menjadi hal penting oleh masyarakat. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah komitmen dari para calon untuk mewujudkan visi, misi beserta program kerja di dalam kehidupan nyata, bukan sebatas retorika.

Akhirnya pemilukada Merangin setidaknya telah berjalan dengan sukses tanpa halangan dan gangguan yang berarti, walaupun masih ada rasa ketidakpuasan oleh segelintir orang terhadap hasil perhitungan oleh KPUD tentu itu sebuah kewajaran. Yang terpenting dari sebuah proses demokrasi ini adalah bagaimana calon terpilih nanti bisa memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, terutama masalah kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Kita tunggu saja.

Dimuat di Media Online Metro Jambi, 3 April 2013

Rabu, 03 April 2013

Dominasi Jabatan Politik


(Ancaman untuk Jabatan Karier)

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Di banyak literatur, istilah jabatan politik baru populer setelah zaman reformasi itu digulirkan. Yakni pasca lengsernya Soeharto sebagai penguasa orde baru pada waktu itu. Sebelum zaman reformasi, istilah jabatan politik belum begitu akrab di telinga publik. Pada zaman itu istilah untuk menyebut jabatan politik lebih dikenal dengan istilah jabatan negara, dan pejabatnya disebut dengan pejabat negara. Sampai hari ini istilah untuk pejabat negara sepertinya diwarisi oleh pemerintahan sekarang, ini dibuktikan dengan masih seringnya kita dengar istilah tersebut. 

Secara sederhana jabatan politik bisa dimaknai sebagai jabatan yang ditentukan oleh sebuah proses politik. Dalam hal ini bisa dicontohkan untuk di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kita mengenal proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi serta pemilihan bupati/wali kota beserta wakil di tingkat kabupaten dan kota.

Jabatan seperti kepala daerah baik itu gubernur, bupati/wali kota beserta wakil di atas merupakan jabatan politik. Karena merupakan jabatan politik, maka ada kewenangan yang melekat dari jabatan tersebut. Jabatan seperti gubernur, bupati/wali kota di daerah dalam hal menentukan posisi jabatan di lingkungan pemerintah daerah baik itu untuk posisi Sekretaris Daerah (Sekda), posisi untuk menduduki jabatan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjadi kewenangan dari masing-masing kepala daerah baik itu gubernur, bupati maupun wali kota dengan meminta pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). 

Karena seorang kepala daerah itu dipilih secara politik, tentu saja dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk untuk menjadi Sekda maupun menjadi pejabat eselon di SKPD, sang kepala daerah tidak bisa lepas begitu saja dari yang namanya pengaruh politik. Akan selalu ada hitung-hitungan ketika hendak menempatkan seseorang di posisi tertentu di birokrasi. Karena ini akan berkaitan dengan kepentingan sang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan selama menjabat. Kalau sudah demikian tentu hal seperti ini akan mencemari sistem kerja di birokrasi khususnya di lingkup pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota. 

Yang sering terjadi dan dikeluhkan dalam proses pengangkatan dan pemutasian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di hampir seluruh daerah selama ini adalah adanya kesan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat yang memiliki tugas melakukan pemeriksaan yang menyangkut syarat administrasi, melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi kepada PPK dalam hal yang berkaitan dengan kenaikan pangkat, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural. Namun sang kepala daerah nampaknya lebih mempertimbangkan “bisikan” dari tim sukses yang telah berjuang memenangkan sang kepala daerah tersebut sebagai bentuk balas jasa dari pada mendengarkan pertimbangan Baperjakat. 

Dominasi Jabatan Politik yang Mengancam 
Sering kita jumpai mereka yang menduduki jabatan karier setelah pergantian kepala daerah banyak pejabat karier yang dipindahkan bahkan ada yang sampai dinon-jobkan. Padahal memiliki prestasi yang  boleh dibilang baik. Akibatnya, para pejabat karier menjadi merasa tidak tenang dan tidak nyaman dalam bekerja. Implikasi lebih luasnya akan berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat. 

Berapa banyak Sekda dan pejabat eselon yang di non-jobkan karena imbas dari pergantian kepala daerah. Kalau diamati  hal tersebut bukanlah persoalan ketidakmampuan, akan tetapi menurut hemat penulis hal ini lebih pada persoalan politik yang di dalamnnya ada persoalan suka atau tidak suka. Tentunya kita tidak menginginkan proses mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu berlangsung dengan semena-mena dengan mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat.

Sebagai akibat dari begitu dominannya jabatan politik yang dimiliki oleh pejabat politik seperti gubernur, bupati/wali kota sangat memungkinkan pengangkatan pejabat karier seperti Sekda dan kepala SKPD itu disusupi oleh kepentingan politik tertentu dengan mengeyampingkan ketentuan yang seharusnya dipenuhi. 

Kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala kepala daerah dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk di jabatan struktural tertentu untuk mengisi jabatan karier yang dikenal dengan istilah eselon dengan mengabaikan berbagai pertimbangan dan persyaratan administratif harus diakui sebagai ancaman tersendiri bagi pejabat karier. Karena bisa saja mereka yang akan menduduki jabatan struktural tertentu di lingkup pemerintah daerah tidak melalui mekanisme yang telah ditentukan. 

Birokrasi Harus Netral
Secara teori birokrasi sifatnya adalah netral. Dalam pengertian ia tidak memihak pada golongan ataupun kepentingan tertentu. Ia seharusnya terbebas dari muatan politik, berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Birokrasi intinya berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak. 
Namun dengan adanya dominasi jabatan politik terhadap jabatan karier akan menjadikan orang yang duduk di jabatan karier tersebut menjadi tidak netral karena persoalan balas budi terhadap pengangkatan dan penempatan atas dirinya pada jabatan karier yang diperolehnya dari kepala daerah sebagai pemegang jabatan politik.
Yang kita khawatirkan dari dominasi jabatan politik adalah hilangnya netralitas dari sistem birokrasi yang sejatinya adalah mengutamakan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan golongan. Akhirnya yang menjadi korban tetap masyarakat golongan menengah ke bawah.