Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Dalam sebuah Rapat Kerja (Raker) yang dilakukan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) dengan Pemerintah Provinsi Jambi di sebuah hotel ternama di Kota Jambi beberapa hari lalu telah menyisakan beberapa catatan terkait tujuan pembangunan demi terbangunnya kesejahteraan masyarakat dunia. Dihadiri oleh berbagai perwakilan, baik itu dari perwakilan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perwakilan masyarakat lainnya yang secara keseluruhan berjalan lancar.
Acara tersebut seyogyanya merupakan agenda tahunan dari Kemenkokesra dalam upaya menyerap aspirasi masyarakat sebagai bentuk partisipasi bagi percepatan pembangunan dalam mewujudkan target dari Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa nasional kita adalah tujuan pembangunan milenium.
Seperti diketahui bahwa MDGs merupakan kesepakatan dunia dalam menanggulangi beberapa masalah penting, antara lain: masalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar yang merata dan universal, memajukan kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, memperbaiki kualitas kesehatan ibu hamil, memerangi HIV-AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan, serta menjalin kerja sama global bagi kesejahteraan yang ditargetkan bisa tercapai pada tahun 2015 mendatang.
Berbagai data dan fakta dipaparkan secara apik dan menarik oleh para pemateri. Selintas memang melegakan. Karena dalam data tersebut menunjukkan kecenderungan indeks pembangunan serta kesejahteraan masyarakat cenderung naik. Dari beberapa program yang disepakati negara dunia, menariknya Pemprov. Jambi mengklaim bahwa hanya masalah kematian ibu dan anak saja yang sampai hari ini belum bisa dicapai.
Tentu sebagai konsekuensi logis dari penyataan tersebut adalah bahwa Pemprov. Jambi secara tidak langsung telah mengklaim memenuhi target dari program yang lain seperti masalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar yang merata dan universal, memajukan kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, memerangi HIV-AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan, serta menjalin kerja sama global bagi kesejahteraan. Pertanyaannya adalah, apakah data yang ditampilkan dalam diskusi tersebut berbanding lurus dengan fakta di lapangan? Khususnya masalah kemiskinan, pendidikan yang merata, penyakit menular serta masalah kelestarian lingkungan yang diklaim telah mencapai target.
Karena di lapangan menurut pengamatan penulis, khususnya di Pemprov. Jambi dalam masalah pendidikan masih banyak sekolah-sekolah yang tidak layak ditempati untuk proses belajar mengajar. Belum lagi tenaga guru yang tidak merata di setiap daerah. Selanjutnya dalam hal penanggulangan HIV-AIDS dan penyakit menular lainnya, selama tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah soal penutupan lokalisasi, sulit rasanya Jambi akan terbebas dari ancaman penyakit menular. Karena di situlah salah satu sumber media penyebarannya penyakit tidak hanya menular tetapi juga berbahaya. Kemudian soal kelestarian lingkungan, pemerintah daerah sepertinya tutup mata. Hutan di kelola dengan orientasi yang tidak sehat oleh para pengusaha, sehingga merusak ekosistem hutan. Akibatnya, kita bisa merasakan bagaimana di musim hujan kita dilanda banjir, ketika musim kemarau kita kekeringan dan kekurangan air bersih. Ditambah lagi harimau yang mulai memasuki perkampungan warga.
Dari Mana Harus Dimulai
Harus diakui bahwa persoalan krusial yang dominan hari ini adalah persoalan disparitas atau kesenjangan yang terjadi di hampir semua sektor. Baik di sektor pendidikan, pelayanan sosial, infrastruktur (sarana prasarana) dan lain sebagainya, khususnya antara yang di desa dengan yang di kota.
Idealnya memang pembangunan itu harus dimulai dari desa, bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini. Jika pembangunan itu dimulai dari kota maka akan berkemungkinan besar banyak desa-desa dan perkampungan yang akan tidak tersentuh oleh pembangunan. Jangankan tersentuh pembangunan, dilirik pun kadang tidak. Hal ini bisa dilihat bagaimana perjuangan anak-anak di desa-desa dan perkampungan yang tersebar di seluruh Indonesia dalam memperoleh pendidikan. Bahkan keseriusan untuk memperoleh pendidikan itu mereka harus mempertaruhkan nyawa dengan menyeberang dan mendaki tebing yang tinggi demi keinginan yang besar untuk bisa bersekolah.
Di daerah tidak seperti kota besar yang senantiasa dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang lengkap dan memadai. Masyarakat di desa hidup dalam keterbatasan yang memprihatinkan. Sementara masyarakat yang tinggal di kota diuntungkan dengan banyak hal. Mulai dari fasilitas sosial (pendidikan, kesehatan, jaminan sosial) maupun dalam hal lapangan pekerjaan.
Dalam praktik sering kali persoalan disparitas ini dikesampingkan, bahkan ada yang sengaja menyembunyikannya. Pemangku kebijakan sepertinya berat untuk mengakui bahwa masih dijumpai adanya berbagai kesenjangan dalam masyarakat. Padahal bukan manis di bibir yang masyarakat harapkan. Karena semakin ditutupi kesenjangan itu bukannya malah mengecil akan tetapi malah melebar.
Disparitas tidak boleh dianggap remeh (hal yang biasa saja). Ia adalah masalah serius yang harus segera diuraikan. Sebab kalau tidak ia akan melahirkan berbagai persoalan baru yang tidak kalah lebih serius. Seperti persoalan konflik, kriminalitas, serta tidak menutup kemungkinan adalah disintegrasi bangsa.
Komitmen Bersama
Untuk mewujudkan tujuan MDGs yang merata maka dibutuhkan komitmen bersama antara negara-negara di dunia, pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta dan semua lapisan masyarakat semua harus bisa bersinergi. Khususnya bagi pemangku kebijakan, terkait dalam hal merumuskan program pembangunan yang tepat sasaran, yang pada akhirnya diharapkan bisa menyentuh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dan dirasakan juga oleh masyarakat dunia umumnya.
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Ekspres Kamis, 23 Mei 2013
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Ekspres Kamis, 23 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar...