Cerpen: Mhd. Zaki
Ia lahir sebagai wanita dewasa yang pemalu. Lahir dari keluarga sederhana dengan menggantungkan hidup dari kedua orang tuanya yang usianya sudah renta. Kalau diperkirakan, usia orang tuanya tidak kurang dari 150 tahun. Usia yang tidak biasa memang! Kalaulah orang-orang biasa, tentu tidak akan sanggup hidup selama itu. Namun keputusan untuk hidup lebih lama, terpaksa mereka ambil dengan pertimbangan berat yang menyayat. Adik-adiknya yang masih kecil-kecil perlu makan untuk tetap bisa terus melanjutkan hidup.
***
Pagi buta yang dingin lagi berkabut, sehabis salat subuh dengan segelas air putih yang mereka teguk untuk bertiga, mereka lalu bergegas meninggalkan rumah. Meninggalkan adik-adiknya yang masih tertidur lelap. Setelah sebelumnya ia dan kedua orang tuanya mengecup lembut kening kedua adik-adiknya yang tidur melingkar menahan rasa dingin, dan menyisakan dua potong singkong pemberian tetangga untuk sekadar pengganjal perut kedua adik-adiknya, saat mereka bangun dan menunggu kami pulang nantinya. Begitu ia menyayangi adik-adiknya. Padahal rasa kantuk masih menggantung di matanya. Di luar masih gelap. Udara juga masih terasa dingin. Namun mereka harus mengalahkan rasa itu semua. Karena kedua adiknya jauh lebih penting dari sekadar harus takluk dan tunduk oleh rasa kantuk, gelap dan rasa dingin yang menggigit.
Setiap hari ia dan kedua orang tuanya menghabiskan waktu untuk memulung. Setiap hari pula ia berharap akan mendapatkan banyak sisa makanan yang dibuang oleh orang-orang kaya. Setiap bak sampah warga mereka datangi untuk mencari sesuatu yang mungkin masih bisa digunakan atau dimakan untuk menu makan malam bersama adik-adiknya yang dari tadi pagi menunggunya.
Berat sekali hidup ini! Tidak seimbang antara keringat dan rasa lelah dengan hasil yang didapat. Sambil ia menghela napas mencoba memaknai hidup. Pekerjaan ini sengaja ia lakukan karena tidak ada pilihan lain untuk orang seperti mereka di kampungnya. Tanah ulayat yang sebenarnya bisa digarap untuk sekadar berkebun menanami tanaman muda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, kini tidak ada lagi. Tanah ulayat itu sekarang sudah berpindah tangan. Orang-orang kaya itu telah memiliki tanah ulayat kampung kami. Entah dengan cara apa tanah ulayat itu tiba-tiba berpindah tangan ke orang-orang kaya itu. Tapi sudahlah! Itu semua telah terjadi. Tidak perlu lagi aku harus menghabiskan waktu untuk memikirkan itu. Lagi pula orang-orang kaya itu punya arti bagi kami. Karena mereka tempat kami mencari makan. Walaupun dari sisa makanan yang telah mereka buang. Tapi cukuplah untuk jadi bekal adik-adikku menjelang mereka tumbuh besar.
***
Awalnya tidak ada yang menduga kalau ia memiliki rupa-rupa kelamin. Termasuk kedua orang tuanya, dan kedua saudaranya yang masih kecil-kecil. Ia sendiri sebelumnya tidak pernah memperhatikan rupa kelaminnya itu. Maklum, hampir tidak ada kesempatan baginya untuk memperhatikan itu, karena harus bekerja membanting tulang membantu kedua orang tuanya untuk bisa menghidupi keluarganya.
Suatu kesempatan yang berbeda. Ia begitu terkejut, setelah kedua matanya kompak tertuju pada kelaminnya. Matanya tak berkedip. Jantungnya berdebar-debar. Ia mulai berkeringat dengan perasaan yang bercampur. Alangkah uniknya punyaku! Ucapnya antara kaget dan penasaran. Ia terus memelototi kelaminnya yang menurutnya unik itu. Ia berusaha menyentuhnya sambil memastikan kebenaran apa yang telah dipelototi kedua belah matanya itu. Ternyata mataku tidak salah! Ia berusaha meyakinkan hatinya.
Satu kelamin kelihatan tegak vertikal ke atas. Yang satunya lagi, terlihat melintang horizontal. “Yang benar saja!”. Rasa penasarannya yang makin menjadi. Kalau yang melintang vertikal ke atas mungkin itu sudah biasa bagi warga di kampungnya. Tapi kalau yang melintang horizontal seperti ini, ini yang pertama aku lihat. Wah!, mungkin akan mengerikan bagi sebagian orang yang belum pernah melihatnya. Atau bahkan mungkin malah sedang dicari oleh mereka yang hidup dari berpetualang kelamin. Ah! Aku tidak pernah menduga seperti ini. Tapi inilah yang terjadi padaku. Aku harus bisa menerima kenyataan ini. Ucapnya dalam hati.
Tak sengaja kejadian aneh ini ternyata menjadi perbincangan orang-orang di kampungnya. Bahkan warga kampung sebelah rupanya juga sudah banyak yang tahu tentang ini. Sebagian mungkin ada yang penasaran ingin melihatnya. Bahkan ada yang sengaja datang rebutan hanya untuk berfoto mengabadikannya dan menjadikannya foto profil di media sosial. Keterlaluan mereka! Ternyata dugaanku benar. Kelaminku jadi dibawa-bawa. Tidak pernah diduga, makin hari kemaluanku semakin tenar, ia begitu di sebut-sebut, dan telah mengkhawatirkan para politisi yang tengah sibuk membangun citra partai. Maklum sebentar lagi pemilu. Padahal sama sekali tidak ada niat bagiku untuk membesar-besarkan kelaminku itu.
Akhirnya di semua media memajang foto kelaminku, tak terkecuali media jejaring sosial. Banyak sekali yang menyukainya dengan memberi jempol dan dengan komentar yang kadang menggelitik. Di media cetak, mereka memuatnya di halaman depan. Alangkah tenarnya kelaminku ini, hingga diberitakan sedemikian rupa. Aku bahkan pernah di kontak oleh pemilik stasiun TV nasional beberapa hari yang lalu. Mereka bermaksud untuk mewawancaraiku. Ah! Sudah bisa ku tebak. Mereka hanya ingin memanfaatkan ketenaran kelaminku saja untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Terlalu ego mereka. Cibirannya dalam hati.
Seandainya aku penuhi undangan mereka apa jadinya!? Bagaimana kalau nanti kedua orang tuaku dan kedua adikku sampai menonton acara ini. Dan mengetahui bahwa kelamin unik itu adalah kelaminku?! Tentu mereka akan kecewa padaku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka. Hatinya berkecamuk hebat. Ada juga yang ingin menjadikan kelaminnya untuk menjadi ikon sebuah iklan. Entah iklan apa, ia tidak pernah tahu.
***
Hari-harinya kini penuh dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan. Apalagi untuk orang seperti dirinya, Maklum, orang seperti dirinya jangankan untuk menerima tawaran miliyaran rupiah, mendengar sebutan miliyaran rupiah saja baru kali ini. Silih berganti orang-orang yang datang menemuinya sambil menawarkan dan menjelaskan bentuk kontrak yang akan mereka tawarkan. Termasuk dari partai politik yang mulai kehilangan citra. Berusaha membujuk dengan menjanjikan kekuasaan dengan memanfaatkan ketenaran kelaminku. Mereka ingin mencalonkanku sebagai calon legislatif. Gila! Gumamnya. Wajar saja partai politik akan semakin terpuruk jika sistem rekrutmen kadernya seperti ini. Benar-benar gila!
***
Merasa dirinya sudah diperlakukan seperti kelamin lacur, yang bisa digilirkan kepada siapa saja yang hendak merasainya. Dengan berat hati, ia pun memutuskan untuk memotong kelaminnya itu. Ia pun akhirnya memajang kelaminnya di dinding dengan sebuah tulisan di bawahnya. “Mungkin inilah yang selama ini kalian cari. Agar kalian lebih mudah mencarinya tanpa harus menemuiku lagi, sengaja kelamin ini di pajang. Semoga kalian bisa mengeksplorasinya, seperti apa yang ada di pikiran kalian. Satu hal lagi yang perlu diingat, kalian tak lebih dari kelamin yang berjalan”. Semua mata saling menatap sambil melihat kelamin masing-masing. (*)
(Jaluko,R.24, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar...