Rabu, 28 Maret 2018

Stop Mewariskan Dendam Politik!*

Oleh: Mhd. Zaki
Konstelasi politik menjelang suksesi sering kali melahirkan gesekan-gesekan dalam masyarakat. Terutama antara tim pendukung kandidat yang satu dengan tim pendukung kandidat yang lain. Apa lagi di daerah yang notabene pendidikan politiknya masih belum mapan. 

Gesekan-gesekan ini, tanpa disadari telah menjadi mata rantai sistem pewarisan dendam politik dalam kehidupan masyarakat.

Ketidaksiapan masing-masing kandidat dan tim pendukung dalam menerima hasil akhir suksesi turut memperkuat mata rantai tersebut. Sehingga dendam politik menjadi semakin mengakar dan sulit untuk diputus.

Dalam tatanan kehidupan berdemokrasi, perbedaan pilihan politik merupakan sebuah keniscayaan. Tidak mesti pilihan orang tua dan anak itu harus seragam. Pilihan adalah kebebasan masing-masing individu dalam mengekspresikan hati nurani mereka yang dijamin oleh konstitusi kita.

Perbedaan pilihan dan pandangan politik, dalam perjalanannya seringkali disalahartikan, sehingga ketidakmampuan sebagian besar masyarakat menerima perbedaan itu telah melahirkan gesekan-gesekan yang kemudian mewariskan dendam politik. 

Bagi pendukung fanatik, kekalahan sang kandidat dengan cacian dan makian oleh tim maupun kandidat lain, merupakan hal menyakitkan, yang sudah tentu sulit untuk dilupakan. Tidak heran jika ada warga menjadi terbelah, hubungan menjadi renggang bahkan sampai rusak hingga bertahun-tahun lamanya karena masih ada rasa dendam dan sakit hati. 

Memutus Rantai Dendam Politik 
Melihat begitu besarnya dampak yang ditimbulkan dari dendam politik bagi tatanan kehidupan masyarakat, maka mata rantai dendam politik tersebut sudah harus diputus agar tidak berlanjut dan semakin parah dalam merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.

Untuk memutus rantai dendam politik, memerlukan keterlibatan banyak pihak. Pertama, para kandidat dan tim sukses/pendukung. Para kandidat dan tim sukses harus bermain ‘elegan’ dan ‘cantik’. Merebut hati calon pemilih bisa dilakukan dengan banyak cara. Cara-cara anarkis dan sarkastis sudah tidak layak lagi diberi ruang. Untuk itu para kandidat dan tim sukses dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menentukan metode yang digunakan. 

Merebut hati calon pemilih di zaman yang kian bergerak maju, tidak melulu harus dengan menjelek-jelekkan, menghina kandidat lain, atau dengan membagi-bagikan uang (money politic) seperti yang selama ini sering terjadi. Cara-cara seperti ini sudah seharusnya dihilangkan karena nyata-nyata telah merusak masyarakat.

Para kandidat sudah seharusnya bisa memberikan pendidikan politik yang sehat, mengedukasi masyarakat dengan menawarkan program-program kerja yang logis yang bisa dirasakan oleh masyarakat, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat berpolitik yang baik, dengan tetap mengutamakan etika.

Kedua, keterlibatan tokoh adat maupun tokoh masyarakat. Idealnya tokoh masyarakat maupun tokoh adat seperti Depati Ninik Mamak memosisikan diri di wilayah yang netral. Dalam pengertian mereka terbebas dari tarik menarik kepentingan. Kenapa hal ini penting? Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan antar anggota masyarakat yang sudah terjalin baik. Bukan sebaliknya, sampai harus menjadi tim sukses para kandidat dan terlibat aktif dalam politik praktis. Mereka cukup untuk mengajun mengarah anak kemenakan agar senantiasa dalam kondisi apapun anak kemanakan, warga kampung tidak terpecah belah, apa lagi sampai bentrok fisik dan saling bakar.

Layaknya seorang tokoh, mereka harus mampu memberikan teladan bagi masyarakatnya, sehingga masyarakat tetap merasa sejuk, nyaman dan tenteram. Dengan demikian masyarakat akan tetap terjaga, terhindar dari konflik, terutama konflik horizontal antar sesama warga masyarakat.

Harus diakui bahwa tokoh adat maupun tokoh masyarakat, mempunyai posisi strategis dalam setiap suksesi. Para tokoh ini dianggap mempunyai pengaruh dan mampu menggerakkan masyarakat. Jadi tidak heran setiap musim suksesi, para tokoh ini sering kali didekati dan tidak jarang dimanfaatkan untuk dijadikan ‘mesin suara’.

Selain itu, para tokoh masyarakat harus memberi kesempatan dan peluang yang sama kepada para kandidat untuk menyampaikan program-program unggulan mereka guna meyakinkan  calon pemilih di wilayah mereka. Tidak perlu ada pembatasan apalagi sampai memboikot kandidat tertentu, tentu hal semacam ini tidak baik. 

Selain tidak baik, pembatasan atau sampai memboikot kandidat tertentu untuk masuk ke wilayah mereka, akan berimplikasi buruk terhadap daerah tersebut. Anggap saja daerah tersebut merupakan basis dari salah satu kandidat, lalu untuk calon lain diboikot, tidak diberi kesempatan yang  sama untuk masuk ke wilayah tersebut kira-kira apa yang akan terjadi? Kalau calon yang didukung tersebut menang mungkin tidak ada masalah. Namun jika keadaannya tidak demikian, anggaplah yang menang justru calon yang diboikot tadi, maka keadaannya akan berbeda. Yang menjadi korban tetap masyarakat. 

Ketiga, penyelenggara dan penegak hukum. Di banyak kasus, kegaduhan justru bersumber dari oknum penyelenggara dan penegakan hukum. Penyelenggara yang memihak dan tidak profesional bisa memancing masing-masing pendukung untuk berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. 

Selain itu penegakan hukum, baik bagi para kandidat maupun pendukung yang terbukti melanggar aturan, juga harus diberi sanksi berupa tindakan tegas, sehingga memberikan kepastian hukum dan efek jera bagi siapa saja yang melanggar aturan main yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, kekhawatiran akan netralitas terhadap penyelenggara dan penegakan hukum bisa dihilangkan serta kepercayaan terhadap penyelenggara pun akan semakin membaik.

Akhirnya silakan berbeda pilihan sesuai dengan hati nurani, namun tetap saling menghormati dan menghargai. Tidak perlu sarkastis, apalagi sampai anarkis. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...