Pelayanan tanpa diskriminasi tentunya menjadi harapan bagi banyak orang. Tidak saja bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, namun juga bagi mereka yang berada di strata ekonomi menengah ke bawah, yang notabene jumlahnya jauh lebih banyak.
Sekadar mengingatkan bahwa hak untuk mendapatkan pelayanan tanpa diskriminasi bagi warga negara, dijamin oleh undang-undang. Secara normatif Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah mengatur hal tersebut. Salah satunya, Pasal 15 Tentang Asas-asas Pelayan Publik huruf (c). kesamaan hak, yang berarti bahwa pemberian pelayanan tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan status ekonomi. Pada huruf (g). persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yang berarti bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Selain undang-undang tersebut di atas, diperkuat pula dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bagaimana tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan dalam hal menciptakan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien. Termasuk dalam hal pelayanan publik.
Dari dua aturan hukum ini saja, sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi institusi pelayanan publik manapun di republik ini, untuk membeda-bedakan hak antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas seperti apa yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dilayani dengan baik sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Seperti diketahui, bahwa ranah pelayanan cakupannya begitu luas, karena ia menyangkut dengan ruang publik. Rocky Gerung menyebutnya dengan “ruang falibilis”. Ruang yang dihuni oleh kesalahan. Artinya ruang yang memungkinkan kesalahan terjadi. Begitu juga dalam pelayanan.
Hari ini, isu pelayanan publik tidak lagi sebatas pada layanan terhadap pemenuhan kebutuhan seperti: ketersediaan kebutuhan pangan, sandang, papan, air bersih, listrik, BBM dan lain sebagainya. Namun lebih jauh lagi, masyarakat saat ini juga membutuhkan pelayanan yang berkaitan dengan administrasi. Sebut saja pelayanan administrasi di kantor pajak, kantor camat, imigrasi, kampus, serta institusi layanan publik lainnya.
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan terhadap administrasi, akhir-akhir ini menjadi kebutuhan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan administrasi, semakin hari semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun, di lapangan sering kali kita mendengar keluhan-keluhan dari masyarakat, terutama masyarakat kecil yang sering menjadi korban dari diskriminasi pelayanan. Padahal masyarakat seperti inilah yang seharusnya dijadikan prioritas dalam memberikan pelayanan.
Selain undang-undang tersebut di atas, diperkuat pula dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bagaimana tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan dalam hal menciptakan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien. Termasuk dalam hal pelayanan publik.
Dari dua aturan hukum ini saja, sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi institusi pelayanan publik manapun di republik ini, untuk membeda-bedakan hak antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas seperti apa yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dilayani dengan baik sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Seperti diketahui, bahwa ranah pelayanan cakupannya begitu luas, karena ia menyangkut dengan ruang publik. Rocky Gerung menyebutnya dengan “ruang falibilis”. Ruang yang dihuni oleh kesalahan. Artinya ruang yang memungkinkan kesalahan terjadi. Begitu juga dalam pelayanan.
Hari ini, isu pelayanan publik tidak lagi sebatas pada layanan terhadap pemenuhan kebutuhan seperti: ketersediaan kebutuhan pangan, sandang, papan, air bersih, listrik, BBM dan lain sebagainya. Namun lebih jauh lagi, masyarakat saat ini juga membutuhkan pelayanan yang berkaitan dengan administrasi. Sebut saja pelayanan administrasi di kantor pajak, kantor camat, imigrasi, kampus, serta institusi layanan publik lainnya.
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan terhadap administrasi, akhir-akhir ini menjadi kebutuhan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan administrasi, semakin hari semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun, di lapangan sering kali kita mendengar keluhan-keluhan dari masyarakat, terutama masyarakat kecil yang sering menjadi korban dari diskriminasi pelayanan. Padahal masyarakat seperti inilah yang seharusnya dijadikan prioritas dalam memberikan pelayanan.
Untuk mengimbangi laju pertumbuhan masyarakat yang berjalan begitu cepat, birokrasi membutuhkan administrator handal, yang benar-benar memahami prinsip-prinsip pelayanan. Selain itu, para administrator harus mampu mementahkan asumsi yang terlanjur terbentuk di dalam masyarakat, bahwa birokrasi itu rumit, berbelit serta cenderung diskriminatif. Sebab kalau sampai asumsi ini dibiarkan begitu saja, maka dikhawatirkan masyarakat akan semakin bersikap apatis terhadap semua institusi pelayanan yang ada. Padahal kita juga harus bicara jujur, bahwa tidak semua birokrasi di negeri ini pelayanannya buruk.
Diskriminasi Pelayanan
Bisa diprediksi bahwa keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik merupakan isu yang tidak pernah mengering. Selalu dikeluhkan oleh masyarakat. Hukum pelayanan yang menyatakan “Selama masih ada keluhan, selama itu pula ketidakpuasan itu ada” sepertinya tidak terbantahkan.
Kalau diamati secara jeli, maka jelas tampak bahwa yang menjadi permasalahan dalam pelayanan publik selama ini diantaranya adalah kelambanan dan diskriminasi pelayanan terhadap kelompok masyarakat yang kurang mampu dibandingkan dengan kelompok yang secara ekonomis lebih mampu.
Perlakuan berbeda bisa kita lihat ketika berurusan melalui biro jasa maupun ‘calo’ dengan menggunakan jalur resmi. Mereka yang melalui biro jasa maupun ‘calo’ biasanya urusannya jadi lebih mudah dan lebih cepat. Sedangkan berurusan menggunakan jalur resmi harus diakui berjalan lambat. Jalur resmi bisa memakan waktu dua sampai tiga hari, sementara melalui biro jasa maupun ‘calo’ bisa selesai hanya dalam satu hari. Namun jelas, untuk bisa menggunakan biro jasa maupun ‘calo’ tentu harus dengan biaya yang lebih. Bahkan biayanya tidak tanggung-tanggung. Bisa dua sampai tiga kali lipat dari biaya resmi. Tentu, mereka yang strata ekonominya lebih mapan yang bisa menggunakan jasa tersebut. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu membayar lebih? Jawabannya adalah harus tetap rela menunggu.
Hal seperti ini, jelas berbanding terbalik dengan asas pelayanan, yang mengharuskan adanya persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dimana setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Pentingya Etika dalam Pelayanan
Dalam sistem birokrasi, dimana proses administrasi itu berjalan, khususnya administrasi negara yang berorientasi kepada kepuasan publik, etika menjadi salah satu syarat dalam memberikan sebuah pelayanan terhadap masyarakat. Konteks etika sejatinya mempersoalkan baik atau buruk terhadap sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesama, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, sehingga ia menjadi nilai yang bisa diterima oleh publik. Etika digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi (administrator) dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Dengan demikian maka, makna dasar dari etika birokrasi sesungguhnya haruslah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, maupun organisasi tertentu dan ia harus tetap difokuskan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Selain harus bebas dari perlakuan diskriminasi serta perlunya etika, pelayanan juga harus dilakukan dengan hati yang bersih. Karena semua berawal dari sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar...