Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Keinginan Kota Sungaipenuh untuk menguasai aset secara penuh adalah hal yang wajar sebagai konsekuensi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungaipenuh. Begitu juga sebaliknya adalah hal yang wajar pula ketika Pemerintah Kabupaten Kerinci merasa keberatan dan mempersoalkan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan aset.
Tidak dapat dipungkiri sengketa aset ini muncul setelah dimekarkannya Kabupaten Kerinci menjadi dua wilayah yakni Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Sebagian pihak menganggap pemekaran Kabupaten Kerinci masih menyisakan polemik terutama masalah aset yang berimbas memburuknya hubungan antara pejabat Kota Sungaipenuh dengan pejabat Kabupaten Kerinci yang juga tentunya akan berpengaruh buruk terhadap percepatan pembangunan di kedua wilayah ini.
Padahal seperti diketahui tujuan dari pemekaran sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah: Salah satu tujuan Pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, mampu meningkatkan berbagai potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia, membuka “keterkungkungan” masyarakat terhadap pembangunan dan dapat memutus mata rantai pelayanan yang sebelumnya terpusat di satu tempat/ibukota kabupaten atau ibukota kecamatan, memicu motivasi masyarakat untuk ikut secara aktif dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Namun apa yang terjadi sekarang, Pemekaran Kabupaten Kerinci dengan dibentuknya Kota Sungaipenuh yang awalnya diharapkan dapat meyelesaikan masalah ternyata malah sebaliknya. Pemekaran terkesan telah melahirkan masalah baru. Salah satunya adalah sengketa aset, khususnya aset yang dianggap produktif. Beberapa aset yang disengketakan diantaranya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Sakti dan Kincai Plaza yang menjadi pusat perbelanjaan terbesar di wilayah Kerinci dan Sungaipenuh.
Egosentris Sektoral
Sebagai bentuk desentralisasi otonomi daerah di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan ini dibuktikan dengan perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Adanya otonomi urusan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah memberikan dampak yang kompleks dalam pelaksanaanya, meskipun terkadang tujuan utama otonomi daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar lebih mudah sering dikesampingkan oleh kepentingan elit politik.
Sering kali dalam sebuah dinamika politik, egosentris sektoral pejabat lebih ditonjolkan dengan mengorbankan hubungan baik yang sudah terjalin lama. Seakan ingin menunjukkan bahwa ialah penguasa wilayah. Tidak jarang pula egosentris tersebut diselingi dengan nuansa politis serta statement-statement yang cenderung terkesan menambah panas suasana. Disadari atau tidak hal semacam ini semakin memperjelas egosentris mereka.
Contoh kecil bisa kita lihat atas statement pejabat Kota Sungaipenuh di salah satu media massa lokal terbesar di Provinsi Jambi beberapa hari yang lalu yang kalau boleh saya kutip “Sumber air kita cukup, kita tidak akan beli air dari Kerinci. Kalau Kerinci mau menutup air sungai Batang Merao, silakan saja, intinya kita tidak akan beli air, cukup dangan air yang ada”. Statement ini penulis anggap terlalu berlebihan, karena akan berdampak kurang baik terhadap usaha penyelesaian sengketa yang sedang dilakukan.
Yang kita khawatirkan justru adalah ketika gayung itu nantinya bersambut. Statement yang dibuat oleh pejabat Kota Sungaipenuh dibalas lagi oleh pejabat di Pemerintah Kabupaten Kerinci dengan egosentris pula. Kalau sampai terjadi perang statement tentu keinginan kita untuk mempercepat penyelesaian sengketa ini akan terhambat. Untuk itu semua pihak perlu menahan diri dan tetap mengedepankan rasa kekeluargaan, dengan hati yang dingin serta pikiran yang jernih demi kepentingan bersama.
Idealnya para pemimpin yang baik harus mampu membangun komunikasi politik yang baik pula dengan masyarakat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya dengan mengumbar statement yang dapat memancing emosi pihak lain. Apalagi kita dikenal dengan masyarakatnya yang santun akan budi bahasanya.
Miskin Kreatifitas
Sikap ngotot kedua pejabat soal aset tersebut tidak lepas dari persoalan nilai ekonomis. Aset tersebut dianggap oleh kedua belah pihak sangat potensial dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Anggapan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan ketidakmampuan mereka dalam menggerakkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam berinovasi menciptakan sumber PAD yang lebih produktif, ketimbang harus memperebutkan aset yang sebagian dananya masih menjadi hutang yang harus dicicil. Padahal masing-masing SKPD bisa didorong untuk lebih kreatif dalam menciptakan program-program yang berkualitas yang bisa mendatangkan pendapatan untuk menggerakkan roda perekonomian daerah masing-masing.
Selama ini baik Kabupaten Kerinci maupun Kota Sungaipenuh terkesan hanya menggantungkan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat. Sudah seharusnya sekarang kita ubah mindset kita dengan tidak melulu menggantungkan sumber dana pembangunan daerah dari pusat melalui DAU dan DAK, tetapi kita dituntut untuk lebih mengoptimalkan dan memaksimalkan sumber daya yang ada di daerah serta menciptakan sumber-sumber PAD yang baru. Dengan demikian tujuan dari pemekaran akan tercapai sesuai harapan. Semoga pemekaran ini akan membawa perubahan yang berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar...