Selasa, 29 Januari 2013

Etika dan Moral Pejabat Publik

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.

Tidak mudah untuk mendefinisikan dua kata ini, yakni kata etika dan moral. Setiap kali berusaha mendefinisikan dua kata ini dengan menggunakan bahasa sendiri sering kali penulis merasa seperti dibenturkan dengan pendapat lain yang mungkin saja akan berbeda.
Apa yang saat ini menurut kita adalah sesuatu hal yang kurang etis mungkin saja menurut orang lain adalah hal yang biasa saja. Kenyataan yang terkadang kontradiktif ini menjadikan etika bersifat relatif. Ia akan dianggap etis dan tidak etis tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Bisa saja hari ini dinilai tidak etis tapi dikemudian hari akan menjadi hal yang biasa saja. Hal ini dipengaruhi oleh bagaimana persepsi kolektif itu dibangun. 
Dalam kehidupan sehari-hari etika sering kali disandingkan dengan moral. Seolah-olah menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan yang melekat pada masing-masing individu yang ikut berperan dalam menentukan apakah individu itu layak untuk dikatakan baik atau pun sebaliknya.

Dalam perjalanan sejarah tidak jarang pula kita jumpai pejabat publik dari belahan dunia yang tersandung kasus yang berkaitan dengan etika dan moral, dan tidak jarang pula karena persoalan etika dan moral itu pula mereka dipaksa menanggalkan jabatan publik mereka. Begitulah salah satu akibat yang mungkin saja akan terjadi pada pejabat publik ketika etika dan moral itu diabaikan. 

Begitu juga dengan kasus kontroversi yang menimpa Bupati Garut Aceng H.M. Fikri. Tindakan Sang Bupati dianggap oleh sebagian pihak sebagai tindakan yang tidak etis serta telah merendahkan derajad dan martabat perempuan karena secara sadar telah menceraikan istrinya Fany Octora yang baru saja empat hari ia nikahi. Bukan itu saja ternyata cara yang ia gunakan untuk menceraikan istrinya adalah cara yang tidak lazim digunakan baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun dalam hukum Islam. Ia menceraikan istrinya melalui pesan singkat. 

Persepsi tentang etika cenderung akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman, karena membicarakan etika berarti membicarakan persoalan pandangan atau persepsi individu atau sekelompok orang yang erat hubungannya dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan seseorang untuk dapat dikatakan baik atau buruk. Di samping itu etika juga berkaitan dengan aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Dengan adanya etika dalam sebuah pergaulan masyarakat akan dapat dilihat baik dan buruknya. 

Antara Etika dan Moral 
Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat serta peran, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Kalau kita sandingkan antara etika dan moral kemudian kita lihat dengan sudut pandang objek, maka kita akan mendapati hal yang sama, yakni antara etika dan moral sama-sama membahas tentang perbuatan manusia yang akan menentukan baik buruknya perbuatan tersebut. 

Di samping memiliki persamaan dalam soal objek, etika dan moral juga memiliki perbedaan. Pertama dalam hal tolok ukur, Dalam mengukur tingkah laku manusia moral menggunakan tolok ukur yang berkaitan dengan adat istiadat, kebiasaan, dan hal lainnya yang berlaku di masyarakat. Kedua dalam hal pemakaian, Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem nilai yang ada. Moral berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti seseorang. Dalam sebuah teori, moral digunakan untuk memformulasikan suatu prosedur dan mekanisme untuk pemecahan masalah-masalah etik. 

Catatan untuk Pejabat Publik
Mungkin Bupati Garut boleh saja merasa terzolimi dan dipojokkkan dengan sebagian pemberitaan media yang dianggapnya telah menggiring persoalan keluarga yang merupakan persoalan privat ke ranah publik. Ditambah lagi berbagai aksi protes dari kalangan perempuan yang menganggap tindakan yang dilakukan oleh Bupati tersebut adalah perbuatan yang telah merendahkan derajad serta martabat kaum perempuan. Namun jangan lupa bahwa disamping sebagai makhluk individu yang mempunyai wilayah privat Bupati Garut juga harus memahami bahwa ada sebuah jabatan publik yang melekat pada dirinya yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Dengan melekatnya jabatan publik pada dirinya maka ia berkewajiban memberikan contoh yang baik serta harus bisa menjadikan dirinya sebagai panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. 

Hal ini sebenarnya yang telah diabaikan oleh Bupati Garut. Ia lupa bahwa ia adalah pejabat publik yang setiap gerak geriknya tidak lepas dari sorotan dari semua kalangan sebagai bentuk control sosial. Dari kejadian ini sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah jika tindakan yang dilakukan oleh Bupati Garut ini didiamkan saja tanpa diproses maka ditakutkan akan membentuk persepsi kolektif masyarakat yang keliru sehingga apa yang telah dilakukan oleh Pak Bupati Garut tersebut dianggap menjadi sebuah hal yang biasa dan ini akan berimbas buruk terhadap anggapan masyarakat kepada pejabat publik lainnya. 
Harapan kita tentunya adalah apa yang telah terjadi dengan Bupati Garut tentang pelanggaran etika dan moral hendaknya mendapat sanksi yang tegas sehingga hal seperti ini tidak terulang lagi dan tidak akan dijadikan inspirasi bagi pejabat lain di negeri ini, khususnya di Provinsi Jambi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...