Kamis, 24 Januari 2013

Lemahnya Manajemen Konflik

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.

Untuk mengawali tulisan ini penulis mencoba memulainya dengan mendefinisikan manajemen. Apa itu manajemen? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) manajemen bermakna penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau tujuan.
 Sedangkan konflik menurut Nardjana (1994) adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Dengan demikian dari dua kata tersebut di atas dapat dimaknai, manajeman konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar, arif dan bijaksana untuk menyelesaikan sebuah perbedaan sehingga bisa diterima oleh kedua pihak yang berbeda pendapat tersebut.

Sebagai konsekuensi dari sebuah konflik yang tidak dikelola dengan baik adalah jatuhnya korban. Tidak jarang kita dengar sebuah konflik berakhir dengan korban jiwa, kerugian harta benda, serta yang jauh lebih memprihatinkan lagi adalah korban fsikologis yang mendalam bagi masyarakat. Bukan itu saja, ternyata lemahnya manajemen konflik juga menyebabkan orang-orang yang tidak berdosa seperti anak-anak dan balita ikut menjadi korban. Kita bisa lihat bagaimana konflik di Poso, Ambon, Lampung, termasuk konflik lahan di Jambi, dan masih banyak lagi konflik-konflik lain yang sampai hari ini masih belum terselesaikan. Bayangkan saja kalau sampai konflik ini kemudian menjalar, terus menerus, dari daerah yang satu ke daerah yang lain tentu akan melahirkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Namun apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur. Konflik sudah terlanjur terjadi, dan saat ini yang harus dilakukan adalah bagaimana mencarikan jalan keluar yang tepat agar konflik ini segera diselesaikan.

Mengenali Konflik
Sebuah konflik tentunya tidak lahir dengan begitu saja, melainkan diawali dengan hukum sebab akibat. Dalam ilmu Sosiologi konflik bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi antara dua kelompok dengan kelas atau derajad yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara kelompok yang sekelas atau sederajad. Sebagai contoh bagaimana konflik antar sesama warga masyarakat yang memperebutkan lahan. Kita bisa lihat kasus yang terjadi di Kabupaten Tebo, Bungo,  Batanghari dan kabupaten 

Konflik yang terjadi di Provinsi Jambi akhir-akhir ini umumnya dipicu oleh masalah perebutan hak atas pengelolaan lahan. Masing-masing pihak baik perusahaan maupun masyarakat sama-sama merasa menjadi pengelola lahan yang sah. Disatu sisi perusahaan merasa sudah mengantongi izin dari pemerintah untuk mengelola lahan, sementara di sisi yang lain masyarakat setempat merasa mereka sudah puluhan tahun mengelola lahan tersebut yang dianggap sebagai tanah adat. Jika dibiarkan maka hal ini tentu akan berimplikasi terhadap hubungan masyarakat dengan para pengusaha yang notabene sama-sama warga negara yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup.

Untuk mendeteksi dan menyelesaikan sebuah konflik tentu kita harus mengenali terlebih dahulu apa saja yang menjadi pemicu konflik. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya konflik yaitu: 
Pertama Kepentingan (Interest), Suatu kepentingan memotivasi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Motivasi ini tidak hanya dari keinginan pribadi seseorang, tetapi juga dari peran dan statusnya karena adanya kepentingan. Tentu seseorang atau sekelompak orang rela melakukan apa saja demi mempertahankan kepentingan yang diklaim menjadi hak mereka.
Kedua Emosi (Emotion), Emosi berkaitan dengan perasaan yang menyertai sebagian besar interaksi manusia, antara lain: rasa marah, benci, takut, cemas, bingung, penolakkan dan sebagainya. Ketika emosi itu memuncak maka kejernihan berpikir akan hilang, pada saat itulah kita akan kehilangan kendali dalam mengendalikan akal sehat kita.

Ketiga Nilai (Value), Nilai ini merupakan komponen konflik yang paling susah dipecahkan karena nilai merupakan sesuatu hal yang tidak bisa diraba dan dinyatakan secara nyata. Nilai berada pada kedalaman akar pemikiran dan perasaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, yang pada umumnya mengarah pada sikap dan perilaku manusia. 

Strategi Mengelola Konflik
Sebuah konflik tidak selalu berkonotasi negatif. Dengan manajemen konflik yang baik sebuah konflik akan bisa dikelola sehingga akan melahirkan hal yang positif. Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), ada lima langkah dalam menyelesaikan konflik. Lima langkah berikut ini bersifat mendasar dan umum dalam mengatasi berbagai jenis konflik:
Pertama Pengenalan, Kesenjangan antara keadaan yang ada dengan keadaan yang seharusnya (das sein das sollen). Seringkali di lapangan kita menemui kesalahan dalam mendeteksi masalah, sehingga akan berpengaruh dalam usaha mencarikan solusi.
Kedua Diagnosis, Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana, pertanyaan-pertanyaan tesebut dicarikan jawaban yang seobjektif mungkin. Kita jangan terjebak dengan gejala dari masalah inti. Tetap usahakan memusatkan perhatian pada masalah.
Ketiga Menyepakati suatu solusi, Berkaitan dengan kegiatan mengumpulkan jalan keluar yang bisa diterima oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. 
Keempat Pelaksanaan. Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, usahakan jangan sampai pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
Kelima Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kita bisa kembali lagi ke langkah-langkah sebelumnya. 
Beberapa hal tersebut di atas bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyelesaikan sebuah konflik. Kita tidak harus menunggu konflik itu terjadi baru kita sibuk mencarikan jalan keluarnya. Tapi sebelum konflik itu terjadi kita sudah bisa deteksi secara dini. Pemerintah juga punya peranan penting dalam mengelola sebuah konflik. Salah satunya dengan cara memperketat serta memperjelas izin pengelolaan lahan. Jangan sampai terjadi penyalahan dalam penggunaaan izin. 
Selama ini kita terkesan mengabaikan benih-benih konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sebelum hal itu terjadi pendekatan-pendekatan dengan mengutamakan dialog-dialog dan sharing pendapat secara terbuka dan berkelanjutan tentu akan memberi pengaruh yang besar bagi pemahaman dan pengertian dari masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat yang sudah sekian lama mengelola lahan tetapi tidak memiliki izin dari pemerintah mau menyerahkan lahan mereka secara tiba-tiba kalau tidak diawali dengan pendekatan-pendakan persuasif. 
Konflik memerlukan sebuah pengelolaan sehingga tidak akan bermakna negatif. Untuk itu dalam menangani masalah konflik pendekatan musyawarah lebih diutamakan. Musyawarah bisa dijadikan sarana untuk mengelola perbedaan pendapat tersebut. Namun ketika pendekatan musyawarah tidak bisa menghadirkan rasa keadilan maka baru dilakukan pendekatan hukum. Sehingga dengan cara ini diharapkan akan dapat memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...