Selasa, 22 Januari 2013

Menunggu Judicial Review Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungaipenuh

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.

Keinginan Kabupaten Kerinci untuk mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungaipenuh merupakan usaha hukum sebagai bentuk pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar perlu diberikan apresiasi dalam sebuah proses berdemokrasi.  Kenapa perlu diberikan apresiasi karena pengajuan judicial review merupakan salah bentuk partisipasi masyarakat dalam mengawal pelaksanaan peraturan perundang-undangan di republik ini. 
Kota Sungaipenuh yang baru beberapa tahun ini dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 ternyata dinilai oleh sebagian pihak berpotensi menimbulkan masalah bagi kabupaten Kerinci. Salah satu dari pihak yang mengkritisi hal tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci dan Pemerintah Kabupaten Kerinci.
Pangkal persoalan terletak pada pemaknaan Pasal 15 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008. Ketentuan Pasal 15 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa: 
Ayat (1):
“Pemerintah Kabupaten Kerinci sesuai dengan kesanggupannya memberikan hibah berupa uang untuk menunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kota Sungaipenuh sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, pada tahun pertama sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), pada tahun kedua sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), dan pada tahun ketiga sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta untuk pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungaipenuh pertama kali sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Terlepas Pemerintah Kabupaten Kerinci sanggup atau tidak, ayat ini dimaknai oleh Pemerintah Kabupaten Kerinci dalam menunjang kegiatan penyelenggaraan Pemerintah Kota Sungaipenuh, Pemerintah Kabupaten Kerinci diminta menghibahkan dana sebesar Rp14.000.000.000,00. (empat belas miliyar rupiah). Tentu ini bukan dana yang sedikit,  Sementara menurut Pemerintah Kabupaten Kerinci Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kota Sungaipenuh dan Pemerintah Kabupaten Kerinci memiliki besar anggaran yang sama. Kemudian di sisi lain secara luas wilayah Pemerintah Kabupaten Kerinci memiliki wilayah yang jauh lebih luas dari wilayah Kota Sungaipenuh. Secara logika untuk mengurus wilayah yang lebih besar tentu membutuhkan dana yang lebih besar pula. Dalam hal anggaran pemerintah Kabupaten Kerinci menilai hal ini tidak proporsional. 

Selanjutnya pada Pasal 13 Ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak pelantikan pejabat Walikota diwajibkan menyerahkan seluruh aset termasuk bangunan perkantoran kepada Pemerintah Kota Sungaipenuh. Sementara dalam batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Kerinci sendiri sampai saat ini belum memiliki bagunan gedung perkantoran. Tentu ini dinilai akan menjadi masalah besar kalau ketentuan ini tetap diberlakukan. 
Ayat (4):
“Apabila Kabupaten Kerinci tidak memenuhi kesanggupannya memberikan hibah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengurangi penerimaan Dana Alokasi Umum Kabupaten Kerinci untuk diberikan kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh”.

Tentu saja dalam ayat ini menimbulkan kekhawatiran bagi Pemerintah Kabupaten Kerinci, karena apabila Pemerintah Kabupaten Kerinci tidak dapat memberikan dana hibah kepada Kota Sungaipenuh, Pemerintah akan mengurangi Dana Alokasi Umum Pemerintah Kabupaten Kerinci. Sebagaimana diketahui Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen terbesar pembentuk anggaran pemerintah daerah. Sedangkan dana alokasi yang ada selama ini masih dirasa sangat kurang. 

Harus Memberikan Rasa Keadilan 
Seyogyanya sebuah undang-undang harus bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, begitu juga dengan kehadiran dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 terbsebut. Sehingga esensi dari undang-undang tersebut tidak membuat Pemerintah Kabupaten Kerinci atau Kota Sungaipenuh merasa dirugikan. Seperti diketahui Kota Sungaipenuh yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 adalah merupakan bagian dari Kabupaten Kerinci. Ketika ternyata undang-undang tersebut tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak dan bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut bisa dinyatakan batal demi hukum. Keinginan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi sebenarnya merupakan jalan terakhir, walaupun masih ada jalan lain yaitu dengan cara duduk bersama melalui  jalan musyawarah.

Harus Memberikan Kepastian Hukum 
Selain memberikan rasa keadilan, sebagai produk hukum sebuah undang-undang juga harus memberikan kepastian hukum. Sehingga dalam menjalankan undang-undang tersebut tidak menimbulkan keraguan hukum dan tafsiran-tafsiran lain yang bertentangan dengan subtansi undang-undang tersebut. Sehingga pelaksanaan dari undang-undang bisa memenuhi harapan masyarakat. Pengajuan judicial review membuktikan bahwa produk hukum yang telah dihasilkan membuka ruang kemungkinan adanya penafsiran berbeda dari berbagai pihak termasuk Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Pemerintah Kota Sungaipenuh.  

Ini juga sekaligus menjadi catatan bagi wakil rakyat dalam merumuskan sebuah undang-undang, sehingga jangan sampai produk hukum yang mereka hasilkan akan menjadi masalah dikemudian hari. Walaupun pada dasarnya permasalahan yang kita hadapi pada saat ini, sama sekali bukan hanya sekadar masalah substansi, pranata, serta kultur hukum saja, seperti apa yang dikemukanan Lawrence Meir Friedman (Satjipto Rahardjo, 2006:154). Tetapi juga keseriusan dari perumus undang-undang dalam mengutamakan tujuan undang-undang itu dibentuk.

Peran Ahli Bahasa dalam Perumusan Peraturan Perundang-undangan
Dalam pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan tidak terkecuali undang-udang itu sendiri, memerlukan perumusan yang matang dan tepat. termasuk di dalam pemilihan kata dan bahasa, sehingga tafsiran-tafsiran hukum bisa diminimalisir dan akan ada pemahamanan yang sama terhadap suatu peraturan perundang-undangan. 

Dalam hal ini keterlibatan ahli bahasa menjadi sangat penting dalam ikut serta dalam pembahasan sebuah peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui tanpa bahasa tidak akan ada undang-undang. Ini menandakan bahwa begitu pentingnya fungsi bahasa dalam sebuah undang-undang, termasuk dalam hal perumusan. Pembuatan undang-undang memerlukan proses yang panjang. Bukan itu saja di samping memakan waktu yang panjang juga akan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Untuk itu  pembuatan undang-undang sebagai produk hukum harus didasari pemahaman bahasa yang baik demi menghindari multi perspektif bagi masyarakat.

Apalagi jika peran bahasa itu diabaikan atau dianggap tidak serius di dalam pembentukan undang-undang, maka sama saja menggiring kita ke dalam perdebatan serta perbedaan perspektif yang panjang.
Staf Kantor Bahasa Provinsi Jambi,  Dosen Politeknik Jambi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...