Selasa, 30 September 2014

Menutup Rapat Layanan Birahi

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Niat baik Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi untuk menutup lokalisasi di Jambi dengan dasar Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan Asusila, patut mendapat apresiasi. Pasalnya, kehadiran praktik ‘layanan birahi’ ini telah berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat di “Tanah Pilih Pesako Betuah”. Apa lagi Jambi dikenal dengan masyarakatnya yang sopan, santun dan teguh terhadap nilai-nilai agama dan budayanya.
Wacana penutupan lokalisasi kali ini, bukan kali yang pertama. Sebelumnya jauh-jauh hari juga sudah pernah diwacanakan oleh wakil rakyat beserta pemkot setelah mendengar keluhan serta tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat, tentang dampak buruk yang ditimbulkan dengan beroperasinya kegiatan ‘esek-esek’ di lokalisasi tersebut (baca Lokalisasi Bentuk Legalisasi Prostitusi).

“Pucuk” sebutan untuk tempat lokalisasi di Jambi, seperti diketahui sudah beroperasi bertahun-tahun lamanya. Ia hadir bukan lagi sebagai bisnis ‘ecek-ecek’, melainkan sudah menjelma menjadi bisnis besar, yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Tentu bisnis ini menjanjikan lagi menggiurkan. Jadi wajar saja, jika selama ini wacana penutupan lokasi ini berhenti sebatas wacana, lalu menguap begitu saja.

Prositusi Dimana-mana

Hampir di semua daerah mempunyai sebutan khusus untuk bisnis ‘layanan birahi’ tempat penyaluran nafsu syahwat tersebut.  Seperti di daerah Jawa Barat, ada yang namanya “Kampung Arab” yang sudah menjadi rahasia umum sebagai tempat yang kononnya didominasi oleh warga Arab dalam menyalurkan libidonya.

Di kota-kota besar dewasa ini praktik prostitusi begitu marak, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang dilakukan secara terselubung, seperti panti pijat plus-plus, salon plus-plus, kost-kostan maupun hotel berbintang. Begitu juga dengan di Jambi, sebagian masyarakatnya tentu tidak asing lagi dengan istilah ‘Pucuk’. Hal ini membuktikan bahwa praktik prostitusi hampir terjadi di mana-mana. 

Kegiatan seperti di ‘Kampung Arab’ di Jawa Barat, ‘Pucuk’ di Jambi dan lain sebagainya, tentu tidak lahir dengan begitu saja. Banyak hal yang menjadikan kegiatan penuh dosa  semakin berkembang dengan pesat.

Pemicu Munculnya Prostitusi

Harus diakui bahwa, lokalisasi sebagai tempat praktik prostitusi bukanlah persoalan penyimpangan sosial semata, bagaimana kebutuhan rohani itu bisa dipenuhi dengan cara yang tidak etis. Di lokalisasi tersimpan persoalan yang kompleks yang di dalamnya penuh dengan persoalan-persoalan yang belum terselesaikan. Pertama, Persoalan Ekonomi. Banyak pekerja seks yang terpaksa ‘menjual diri’ dengan alasan ekonomi. Apalagi hidup di kota-kota besar. Banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi setiap harinya, berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sehingga ‘menjual diri’ dianggap sebagai jalan pintas yang pas untuk tetap bisa melanjutkan hidup yang semakin keras. Apalagi seseorang tersebut tidak mempunyai keahlian atau pun pendidikan yang memadai.

Kedua, Persoalan Sosial. Disparitas atau kesenjangan sosial yang terlalu mencolok antara yang kaya dengan yang miskin, juga turut mendorong seseorang untuk terjun ke dunia hina ini. Siapa yang tidak ingin hidupnya berkecukupan. Tentu sebagai manusia yang normal, pasti punya cita-cita untuk menjadi orang yang mapan di segala bidang, serta ingin diakui status strata sosialnya. 

Ketiga, Persoalan Kepentingan. Dengan tetap beroperasinya kegiatan prostitusi di lokalisasi selama ini, tidak bisa lepas dari berbagai kepentingan. Ada kepentingan Muncikari sebagai penyalur di situ. Semakin laris ‘anak asuhannya’ semakin banyak pula setoran yang akan mereka terima. Ada pula kepentingan pihak yang menawarkan jasa keamanan. Dengan tetap beroperasinya lokalisasi, dengan sendirinya jasa keamanan tetap dibutuhkan, dan mereka yang di sana tetap harus bayar kalau ingin tetap aman.

Kemungkinan keterlibatan oknum aparat juga menjadi hal yang dilematis. Karena mustahil rasanya tempat seperti ini bisa tetap beroperasi kalau saja instansi terkait pemerintah bisa bertindak tegas.
Salain itu, kepentingan para bandar narkoba juga ada di tempat ini. Sebagian besar para ‘pengunjung’ yang menggunakan jasa wanita penghibur, patut diduga dekat dengan barang-barang haram, seperti sabu-sabu, ekstasi dan lain sebagainya. Kalau tempat ini ditutup jelas para bandar akan kehilangan pasar potensial mereka.

Keempat, Persoalan Moral dan Keagamaan. Tidak dapat dibantah bahwa persoalan moral dan keagamaan pada hari ini dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Yakni sedang mengalami degradasi dan dekadensi. Perkembangan zaman yang semakin cepat justru tidak diimbangi dengan penguatan moral dan peningkatan kualitas iman masing-masing individu.

Persoalan moral dan keagamaan sejatinya menjadi benteng terakhir bagi seseorang dalam menangkis dan membendung ancaman-ancaman dari luar. Untuk itu, maka diperlukan usaha-usaha penguatan moral dengan menanamkan nilai-nilai luhur budaya ketimuran, khususnya Jambi dengan budaya melayunya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan yang menjadi sumber kebaikan.

Tutup Rapat

Persoalan yang kita hadapi hari ini, bukanlah persoalan baru, melainkan persoalan lama yang sering terjadi di depan mata. Hanya saja kita lalai dan lengah, sehingga dampaknya menjadi meluas ke mana-mana.

Sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas dan cerdas dalam mengatasi masalah ini. Salah satunya dengan menggunakan kewenangannya, dalam bentuk aturan hukum. Selanjutnya dengan melakukan pemberdayaan secara berkelanjutan terhadap mantan penghuni lokalisasi tersebut, sehingga mereka benar-benar bisa mandiri dan lepas dari pekerjaan lama mereka. Yang tidak kalah penting adalah memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan yang telah dibuat. Tutup rapat dan jangan buka lagi!

Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, Kamis, 25 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar...